Kosmologi Kreativitas Ketut Budiana

PHOTOGRAPHY: vincent chandra
TEXT: wayan seriyoga parta

Perjalanan kreativitasnya dijalani sejak lama, namun gelora eksplorasinya semakin menjadi di usianya yang sudah sangat matang ini. Dialah Ketut Budiana perupa asal Padang Tegal Ubud lahir enam puluh empat tahun silam, seorang pelukis dan juga menjalani tugas sebagai sangging serta undagi ngayah untuk kepentingan adat dan religi.

Tahun 2014 menjadi penanggalan penting dalam dinamika kreativitas Budiana, keinginan yang terpendam sejak lama akhirnya dapat terealisasi. Yaitu menggelar pameran di tiga kota, Bali, Jakarta dan Yogyakarta yang semuanya mengambil lokasi di Bentara Budaya, sebuah ruang budaya kontemporer yang tetap berpijak pada kearifan nilai-nilai budaya tradisi. Bagi Budiana pamerannya ini tidaklah hanya sebatas gelaran keliling (road show) semata, akan tetapi sebuah ritus yang berpijak dari konsep-konsep yang digalinya dari nilai spiritual khususnya Hindu Bali.

Merebut Kehidupan, 110×77 cm, acrylic on canvas, 2013

PerjalanAN Menuju KebEBasan, 200x300cm, Chinese Ink on paper, 2014

air susu ibu, 64x50cm, ACRYLIC ON PAPER, 2008

Berawal dari konsep dua, yaitu tentang penciptaan yang di dalamnya aspek purusa (laki-laki) dan predana (perempuan) menjalin hubungan kausal sehingga kehidupan pun mengada di muka bumi. Dalam rangkaian nilai simbolik, kekuatan purusa diibaratkan sebagai bapak matahari yang memberi energi bagi kesuburan sang ibu pertiwi, sehingga berbagai kehidupan lahir dari rahimnya. Pada konteks nilai simbolik yang berasal dari kehidupan manusia sejak zaman prasejarah yaitu konsep lingga dan yoni, energi kreatif yang maha besar lingga diyakini harus didasari oleh kekuatan maha cipta yoni sebagai penyelaras. Kekuatan yoni, ibu pertiwi (bumi) dengan daya gravitasinya membuat entitas kehidupan dapat berdiri tengak di atasnya, entitas yang memiliki massa seberat apapun mampu ditopangnya.

Beranjak dari konsep dua itulah Budiana mengawali gelarannya di Bentara Budaya Bali dengan sebuah ritus instalatif outdoor dan indoor. Konsep dua tentang penciptaan, tentang kelahiran manudia yang dinaungi oleh kosmologi konsep empat yang disebut kanda mpat (sedulur papat di Jawa) yaitu empat entitas yang menemani cabang bayi sejak dalam rahim hingga mengada di Bumi dan kembali melebur pada kosmos. Konsep-konsep itu dielaborasi Budiana menjadi sebuah garapan instalasi dengan memakai, bahasa rupa yang bersumber dari dasar-dasar kesenirupaan Bali yaitu rerajahan.

Konsep empat yang menjadi dasar kesadaran kosmologis manusia, juga menjadi dasar bagi gelarannya di Jakarta dan Yogyakarta. Jika di Bali ia sajikan sebuah ritus kelahiran, maka di Jakarta ia ibaratnya sebagai rimba kehidupan dengan berbagai kompleksitasnya, menjadi ruang untuk menempa diri. Hal ini juga tercermin dari segi karya yang cenderung lebih berwarna dan memakai medium lukis, sebuah medium yang selalu menjadi primadona bagi kehausan manusia (para kolektor) untuk mengkoleksinya. Lukisan sebagai medium menjadi subjek bagi hasrat manusia yang selalu haus untuk memiliki, sebuah insting dasar manusia yang paling hakiki. Bagi Budiana, hendaknya hasrat yang besar ini senantiasa harus didasari oleh kesadaran akan diri yang ada pada konsep kanda mpat, dan nilai-nilai itu terbenam di dalam karya-karya lukisnya.

Penjaga Bumi, 65X50cm, aCrYliC AND CHINESE INK ON PAPER, 2008

Sedang Yogyakarta dalam rangkaian ritus ini dimaknai sebagai sebuah kesadaran menjejaki kembali asal-muasal, karena konsep-konsep Hindu yang diwarisi di Bali tak bisa dilepaskan dari warisan yang awalnya berkembang di Jawa katakanlah sejak kerajaan Hindu awal di Jawa. Konsep sedulur papat kalima pancer berasal dari Jawa dan kemudian berkembang di Bali menjadi kanda mpat, yang dengan kearifan lokal terelaborasi menjadi rangkaian yang kompleks dalam sistem upacara yadnya. Yogya yang mewarisi kebudayaan Jawa, dalam konteks ritus Budiana dapat dimaknai juga sebagai tahapan wanaprasta.

Tahap kehidupan manusia yang setelah khusuk dengan diri; keluarga, karir, harta dan tahta, kemudian harus kembali ke alam, yang sering diibaratkan dengan kembali ke hutan. Kembali ke alam adalah menyadari kembali “aku” yang berkorelasi dengan alam, dengan energi-energi dan menyadari diri sebagai bagian dari sebuah rangkaian kosmik. Dengan kesadaran itulah nantinya manusia siap menjalani tahap terakhir kehidupan yaitu Biksuka menuju pada kesadaran pelepasan diri menuju sumbernya. Tahapan tersebut dalam rangkaian ritus ini, adalah tahap Budiana kembali pulang ke Bali, menjalani swadarmanya sebagai bagian dari masyarakat Bali yang mengemban tugas ngayah dijalan kreatif.

*Made Susanta dari tim Gurat Insitute membuat review pameran ini dan dimuat di Majalah Sarasvati pada tahun 2014.

DOKUMENTASI PAMERAN TUNGGAL KETUT BUDIANA (TAHUN 2014)

Komunitas Budaya Gurat Indonesia © 2022

P: +62811038758095
E: guratinstitute.13@gmail.com
L: Br. Tubuh, Batubulan, Gianyar, Bali

Scroll to Top