Seberapa Pentingkah Kawasan Heritage Sebuah Kota?

Esai oleh penulis dan kurator Savitri Sastrawan

Setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Denpasar memastikan adanya heritage site atau “kawasan heritage” yang terzonasi di dalamnya. Memang mengaplikasi adanya kawasan heritage di dalam kota yang sebenarnya desa-menjadi-kota ini bagian dari mengapresiasi apa yang telah membentuk kota Denpasar seperti saat ini. Namun, sejauh manakah kawasan heritage itu relevan atau penting untuk dizonasikan? Dan untuk diperkenalkan ke siapa sebenarnya kawasan heritage itu?

 

Foto Plang Kawasan Heritage Gajah Mada
di pertigaan Jl. Thamrin-Wahidin-Sutomo

Tulisan ini berdasarkan observasi yang dilakukan secara pribadi dan latar belakang penulis tidaklah di studi heritage maupun planologi. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan seberapa pentingnya “kawasan heritage” di Kota Denpasar. Untuk itu akan dimulai dengan perbandingan antara satu kota dan lainnya di dunia yang juga menyuguhkan kawasan-kawasan heritage, baik itu berbentuk per bangunan maupun area.

Kota Tua karena Pusat Kota terdahulu dan bekas Jajahan Belanda

Setelah melalui beberapa kota di dunia bahkan pernah tinggal di dalamnya, pengertian “kawasan heritage” berbeda-beda di setiap tempat serta penerapannya. “Kawasan heritage” suka dikatakan juga Old Town atau Kota Tua. Layaknya di Jakarta memiliki Kota Tua dan Stockholm, Swedia atau Riga, Latvia memiliki Gamla Stan (arti: kota tua). Begitu juga di Bandung dengan daerah Jalan Asia Afrika yang terkenal dengan Konferensi historis paskakolonial-nya itu pada tahun 1955 dan daerah Braga yang penuh dengan toko-toko tahun 1920-an. Sedangkan London, kota-nya memang menyatakan diri sebagai kota tua tersendiri, merupakan kawasan heritage yang keseharian arsitekturalnya tidaklah jauh beda dari abad ke abad. Dalam artian, bangunan baru terjadi jika dilihat perlu ada regenerasi.

Gamla Stan di Stockholm maupun Riga mempertahankan arsitektur-arsitektur dari jaman dibangunnya Kota Tua tersebut. Mereka tidak mengubah permukaan daripada bangunan-bangunan tersebut, namun di dalamnya sudah menjadi berbagai hal. Bagian bawah banyak yang menjadi toko, restoran dan kafe. Sedangkan bagian atasnya menjadi tempat tinggal apartemen ataupun perkantoran. Adapun beberapa museum dan situs-situs penting di dalamnya, seperti di Gamla Stan Stockholm, Museum Nobel yang memberikan hadiah perdamaian Nobel Prize terletak di dalamnya. Yang menarik, Riga merupakan kota di Skandinavia yang memiliki Gamla Stan terbesar karena dulunya Riga merupakan kota utama, seperti kota pelabuhan utama di area Balkan itu. Maka, Gamla Stan di kedua kota ini menjadi bagian dari kawasan wisata penting.



Gamla Stan Stockholm, Swedia


Gamla Stan Riga, Latvia

Sedangkan saat kita melihat Jakarta dan Bandung dengan bagaimana Indonesia merdeka dari Jepang dan Belanda secara mutlak tanpa adanya Jepang maupun Belanda memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, serta tidak ada sistem Commonwealth yang seperti diberlakukan Inggris pada jajahannya, bisa dikatakan bahwa Kota Tua yang diterapkan Jakarta dan Bandung bukanlah masalah sebatas preservasi kolonialisme yang telah terjadi. Melainkan memperlihatkan perkembangan dan histori yang dibangun oleh kedua kota yang akhirnya bagian dari Indonesia yang merdeka. Tentu di bagian Kota Tua kedua kota ini masih bisa ditemukan arsitektur bangunan dari zaman kolonial dan perkembangannya pasca kemerdekaan serta sekarang menjadi kawasan wisata yang penting juga. Dengan demikian, para Gamla Stan dan Kota Tua ini berfungsi sebagai kawasan heritage yang patut dikunjungi, dipelajari dan diingat kembali.


Bandung - Jl. Asia Afrika yang mengingatkan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955


Bandung - Gedung zaman kolonial Belanda dialih fungsikan menjadi gedung bank


Bandung - Toko Roti dan Kue Het Snoephuis di daerah Braga dari tahun 1920-an,
tidak mengubah plangnya menjadi bahasa Indonesia dan beberapa menu tetap bahasa Belanda


Interpretasi Heritage setelah menjadi Jajahan Britania

Maka menjadi menarik di saat menemui beberapa kota yang tadinya merupakan jajahan Inggris di Asia, seperti Kuala Lumpur, Hong Kong dan Singapura. Dimana masing-masing sepertinya mengartikan kawasan atau tempat heritage dengan cara berbeda. Dari ketiga kota yang pernah dijajah itu, hanya Singapura yang rasa kolonialnya masih melekat di kawasan heritage-nya dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan keseharian yang tidak disuguhkan untuk turisme saja.

Sebelum saya masuk bahasan kawasan heritage Singapura secara detail, ingin saya tekankan bagaimana di Kuala Lumpur dan Hong Kong merombak citra kawasan heritage mereka dari jaman kolonial Inggris. Apa yang dapat diamati di Kuala Lumpur, setelah kemerdekaannya tahun 1960, mereka membangun beberapa bangunan yang menandakan kemerdekaannya itu. Maka, secara arsitektural dan planologi, Kuala Lumpur mengubah citranya sebagai bangsa yang merdeka sehingga jika kita ingin membahas heritage, arsitektural-arsitektural inilah yang jadi panutan, seperti gedung parlemennya dan Masjid Negara. Sayangnya, ada beberapa bangunan mulai dirombak lagi dengan diruntuhkan dan dibangun kembali atau dihilangkan sehingga rasa “kuno” atau “tua” itu mulai menghilang.

Kuala Lumpur – Pameran di Ilham Gallery, November 2017 bertajuk “Gerak Rupa Ubur Penyataan 1957-1973” yang juga menunjukkan “Seni Moden, Bandar Moden” atau “Modern Art, Modern City” termasuk maket-maket bangungan pasca-kemerdekaan Malaysia yang sebelumnya bagian dari Kuala Lumpur Architecture Festival (KLAF) 2017

Sedangkan di Hong Kong, beberapa tahun terakhir ada beberapa kawasan heritage yang dirombak dengan suatu value atau penggunaan. Seperti pada bekas kompleks kantor polisi dan penjara jaman penjajahan Inggris bernama Tai Kwun, sekarang berubah menjadi semacam creative hub selain tetap sebagai gedung bersejarah. Saat mengelilinginya, kita masih bisa menemukan informasi tentang keberadaan situs ini. Namun di saat yang sama, ia memiliki tempat berpameran seni kontemporer, perpustakaan, tempat residensi seni, tempat-tempat terbuka untuk acara maupun umum, dan toko-toko kecil yang menjual produk-produk kreatif. Adapun di area Kowloon Bay terdapat kawasan heritage bekas peternakan sapi yang menjadi perkumpulan studio-studio seniman dan galeri, dan lagi-lagi tetap sebagai gedung bersejarah. Jadi, saat memasuki area Cattle Depot Artist Village, kita bisa masih menemukan beberapa bagian dari peternakan sapi tersebut, bahkan dibuatkan semacam instalasi yang menunjukkan eksistensinya di masa lampau. Kedua tempat ini menjadi sangat menarik dikunjungi, walaupun ia berubah fungsi tapi cerita masa lalunya tidak ditinggalkan juga sebagai kawasan heritage, apalagi dengan Hong Kong yang begitu pesat perkembangannya.


Tai Kwun - Salah satu gedung penjara yang dikonversi menjadi tempat nongkrong

Tai Kwun - Gedung Polisi yang masih dipertahankan di antara gedung-gedung tinggi Hong Kong


Tai Kwun - Salah satu galeri di dalam gedung baru yang mengadakan pameran seni kontemporer
(Sumber foto: Para Site, Hong Kong)

Cattle Depot Artist Village – instalasi bentuk sapi di antara tempat yang tadinya tempat diternaknya


Cattle Depot Artist Village – Suasana malam luar studio-studio seniman di Cattle Depot

 

Lalu, saat ke Singapura dan mencoba ke “kawasan heritage”-nya, tidak disangka, jam tinggi yang ada pada Victoria Concert Hall memiliki denting yang sama dengan Big Ben atau jam di gedung parlemen London yang merupakan jam nya rakyat West London (Kawasan London Barat). Big Ben masih sangat relevan untuk orang di sekitarnya, dentingan jam-nya yang cukup besar dan lajunya yang tak pernah lambat, memastikan orang-orang akan waktunya. Begitu juga jam tinggi di tengah kota Singapura ini. Walaupun suaranya tidak sebesar Big Ben tetapi cukup sampai seberang sungai dimana bank-bank berderet.


Singapore - Victoria Concert Hall


London - Big Ben dan Parliament House

 

Di seberang itulah deretan bank di Boat Quay Riverside, yang salah satunya Bank UOB, pun mengingatkan ku pada satu kawasan di London, yaitu di daerah Bank. Secara harfiah, dalam bahasa Inggris kata bank memiliki dua arti:
- Suatu area yang ada pada pinggir atau menurun pada sungai atau danau
- Institusi finansial yang menggunakan uang yang didepositokan oleh para nasabah untuk investasi, pinjam meminjam dan pertukaran mata uang


Dan di London, menariknya area Bank ada di pinggir Sungai Thames besar yang juga memiliki berbagai macam institusi finansial berdiri di atasnya. Area sekitaran Bank memiliki jalur-jalur air kecil yang masih digunakan sebagai tempat berdermaga dan pasar basah berdagang, yang juga memperlihatkan bagaimana dari dulunya memang tempat pertukaran serta berbelanja.
Dan lagi satu, kalau kita di kalangan seni rupa, pasti mampir ke National Gallery Singapore yang sering dipanggil NGS. Nah, tak disangka juga, bentukan dari NGS pun mirip dengan National Gallery di London.


Singapore - Boat Quay Riverside

Bank, London – gedung-gedung pencakar langit yang merupakan kantor-kantor finansial terlihat dari seberang Sungai Thames

Bank London – suasana sekitar Bank dengan mural Sinta Tantra di antara gedung-gedung finansial

National Gallery Singapore

National Gallery London

 

Kesamaan-kesamaan ini menjadi aneh dan sedikit ngeri untuk seorang penulis penganut teori postcolonial dan juga pernah tinggal di London sebelumnya. Ternyata, Singapura, yang katanya merdeka dari Inggris dan Malaysia, masih sangat ke-Inggris-an. Mungkin, secara arsitektural mereka tidak akan mengubah apapun, tetapi jika dentingan jam masih sama dengan si kota-nya penjajah terakhirnya, apakah berarti Singapura sengaja membiarkan kawasan heritage-nya sekolonial mungkin?

 

Denpasar, Heritage-nya yang mana?

Maka, dari segala macam “kawasan heritage” yang ada di dunia ini, bagaimana dengan yang di Denpasar? Masuk kategori yang manakah dia?

Denpasar bukanlah kota yang dijajah Belanda terlebih dahulu di Bali. Ada perbedaan hampir satu abad antara invasi Belanda ke Buleleng di tahun 1800an di Bali Utara dan Puputan Badung terjadi di tahun 1900an di Bali Selatan. Dan dengan citranya yang terpuruk dengan adanya fotografi terhadap kejadian Puputan tersebut, Belanda tidak mengubah banyak Badung atau Denpasar yang kita kenal sekarang. Pasar berpindah dari yang sekarang Lapangan Puputan ke daerah Gajah Mada yang kita kenal sekarang. Karena pada zaman kerajaan berkuasa, pasar akan terletak di depan Puri. Nah, apakah karena itu Gajah Mada menjadi kawasan heritage? Karena perpindahan pasar? Lalu Pasar Badung berubah fasad karena terbakar luluh lantah. Dibangun gedung yang begitu megah, memiliki eskalator bahkan lift, dan dijunjung sebagai pasar modern terkini yang akhirnya dicontoh kabupaten lain di Bali. Hmm, lagi-lagi, poin warisan budaya yang mana yang memang dijunjung disini? Mengetahui Pasar Badung adalah pasar utama sejagat Bali. Apakah efektif dibangun demikian pula?

Foto Gedung Pasar Badung

Adapun jam zaman Belanda yang terletak di areal Patung Catur Muka sekarang ada di pinggir jalannya setelah sekian tahun berada di dalam Museum Bali. Jadi, apakah ini berarti ada jejak ingin menghapus jejak kolonial Belanda dengan menyuguhkan yang religi dan kesenian Bali? Maka jam yang mungkin ada disana dan berguna untuk masyarakat sampai tahun 70an tidaklah diperlukan lagi? Jalan-jalan sekitaran KM 0 Denpasar inipun di paving-paving agar terkesan istimewa. Belum lagi Tukad Badung yang diperindah dibawah jembatan, tetapi malah dibilang Tukad Korea karena mirip dengan yang di Korea Selatan sebagai imaji yang dijunjung di era ini. Terakhir, adapun ancang-ancang membuat plaza atau piazza macam di Eropa dimana semacam tempat berkumpul serta khusus pejalan kaki tadinya mau diberlakukan sepanjang daerah Jalan Gajah Mada dengan patung-patung para pembuat ogoh-ogoh terkenal Denpasar di antaranya. Namun akhirnya sekarang patung-patung itu ada berhadapan dari jalan dan dari areal pasar, tetapi akses khusus pejalan kaki tetap tiada. Kesannya “kawasan heritage” yang di-zonasi-kan Denpasar ini sangat campur aduk. Ada bangunan-bangunan lamanya seperti pertokoannya, tetapi pasarnya sudah berubah, begitu juga dengan sungainya.

Foto Patung2 Baru


Denpasar - Tukad Badung di malam hari


Denpasar – Jam Kolonial Belanda di pinggir bundaran Patung Catur Muka

Walaupun kawasan Gajah Mada ini sudah lama menjadi “kawasan heritage” yang patut menjadi destinasi wisata, apakah “kawasan heritage” di Denpasar yang kian penting di mata pemerintahannya itu berhasil diperlihatkan? Apakah zonasinya berhasil diberlakukan? Era Denpasar mana yang menjadi “heritage”? Arsitektur dan gedung-gedung mana yang menjadi bagian dari “heritage” itu? Atau, apakah “kawasan heritage” yang berlaku sekarang, yang terus berubah itu, sebenarnya dibangun menjadi “kawasan heritage” untuk masa depan? Silahkan disimak!

Savitri Sastrawan, 2022

 

*Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku Hard-Iman: Kumpulan Tulisan dan Karya Seni Budaya Rupa, Hadiah Purna Tugas untuk Hardiman. Penerbit Komunitas Budaya Gurat Indonesia, tahun 2022. Baca esai lainnya dalam buku Hard-Iman, dapatkan lewat Whatsapp +081236159040 (Vincent).

⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp