Membongkar Pandangan Mengobjektifikasi pada Karya Darmawan - Savitri Sastrawan

Esai kuratorial oleh Savitri Sastrawan, dalam pameran tunggal Nyoman Darmawan "Liku, Laku, Nyoman Darmawan's Cocsmic Pavement" di Nonfrasa Gallery, Ubud - Bali, 25 Des 2023 - 25 Januari 2024.

Sebagai kurator dan penulis perempuan, cukup sulit untuk saya tidak melihat adanya pandangan laki-laki yang mengobjektifikasi perempuan (dikenal sebagai male gaze) pada karya-karya Nyoman Darmawan. Sebagai seorang yang telah mencoba mengklarifikasi erotisisme pada karya-karya lukisan Bali, terutama karya IGAK Murniasih, terasa susah untuk memungkiri adanya imaji-imaji seksualitas yang riil pada lukisan Darmawan - notabene dibuat pelukis laki-laki. Tetapi mengenal Darmawan sebagai seorang perupa dari Pengosekan, Ubud, dan terinspirasi oleh maestro lokal Dewa Putu Mokoh, saya mengenal betul dari mana gaya lukis Darmawan berasal. Apalagi Murni, yang bukan orang Pengosekan, belajar gaya daerah itu dari Mokoh juga.

Mokoh dikenal dengan lukisan tentang keseharian yang humoristik, seperti orang mengintip orang lain atau seseorang telanjang sedang bersantai di kamarnya. Ia keluar dari norma gaya Pengosekan yang terkenal dengan objek flora dan fauna-nya. Melalui humor yang cerdas itu, kita tidak melihat adanya male gaze terjadi. Di sisi lain, Murni mengembangkan gaya surealis Pengosekan-nya dengan penuh warna dan menggambarkan referensi terhadap Lingga Yoni - pertemuan organ perempuan dan laki-laki - yang juga menjadi referensi Darmawan. Namun, Murni menggambarkannya dengan implisit, sedangkan Darmawan hampir sangat eksplisit.

Dengan itu Darmawan memiliki gaya surealis yang humoristik itu juga terhadap hubungan perempuan dan laki-laki, adapun keseharian yang digambarkan secara metaforik. Masih menggunakan metodologi penciptaan lukisan Pengosekan - menggunakan kuas bambu dan lapisan tinta hitam (baca: mangsi) - seperti Mokoh dan Murni, Darmawan tidak pernah memenuhi kanvasnya penuh dengan objek manusia, flora maupun fauna. Ada ruang untuk bernafas, ada sudut pandang ruang kosmik imajinatif pada kanvas Darmawan.

Kendati tetap saja, garis male gaze dan erotisisme masih kabur di mata saya saat melihat karya Darmawan. Gaya metaforik dan surealis pada lukisannya masih menunjukkan hasrat seksual datang dari perspektif laki-laki. Untuk tidak melihat itu seperti mengelak posisi saya selama ini, tetapi juga tidak adil untuk menghakimi karya gaya Pengosekan yang evolutif hanya melalui male gaze. Artistik dan estetika Darmawan bisa didiskusikan lagi. Dan setelah perbincangan dengan Darmawan dan Nonfrasa Gallery, ada hal-hal lain yang perlu dipreteli lagi. Selain male gaze, ada juga gaze atau pandangan lain yang perlu dibahas. Melalui tulisan kuratorial ini, saya mencoba untuk membongkar pandangan-pandangan mengobjektifikasi pada karya Darmawan.

Saya belajar dari Darmawan bahwa lukisannya merupakan “tulisan” buku harian/diari-nya, yang lagi persis dengan apa yang Murni dan Mokoh lukiskan dalam karya mereka. Darmawan berbagi bahwa ini adalah rekaman perjalanan hidupnya yang tidak diketahui langkah selanjutnya, apalagi akhir dari-nya. Ia memilih gaya ini karena bisa menunjukkan kecukupan, dan merepresentasikan ekspresi yang ia ingin tuangkan pada saat itu juga. Ia mengerjakan karya-karya yang besar tidak tergesa-gesa, dan menuangkan perasaannya di kanvas yang lebih kecil di antara-nya. Yang menarik, ruang kosmik imajinatif yang ia lukiskan itu merepresentasikan ruang dan waktu. Menjadi saksi akan perjalanan yang ia tulis serta membuatkan jalan baru. Maka dari itu, anda menyaksikan Cosmic Pavement dari Darmawan. Dan juga, karya-karya yang ia buat tidak jauh dari apa yang Mokoh telah buat dan male gaze sepertinya tidak ada. Ia benar-benar menyatakan perasaannya secara metafor dan surealis, mirip juga dengan apa yang Murni sering katakan saat membuat karya-karyanya.

Dalam percakapan yang berlangsung itu, adapun gaze lain yang perlu dihindari - pandangan kolonial yang menjadi pandangan turis (colonial/tourist gaze) - pada karya-karya Darmawan. Ada pemikiran awal untuk memberi judul pameran ini dengan kata-kata “primordial” atau “primitif” untuk memperlihatkan kemurnian dari karya-karya yang dibuat. Namun, ini perlu dihindari karena jadinya berbalik arah membaca karya-karya Darmawan yang dibuat di Bali. Dosen Budaya Visual (Visual Culture), Irit Rogoff (2000) mencatat bagaimana “geographical naming” atau melabel geografi itu sangat problematik terutama datang dari colonial/tourist gaze. Maka jika kita menyatakan karya Darmawan “primordial” atau “primitif”, akan mereduksi ekspresi dan posisi karyanya. Kita mengetahui bahwa sudah lama colonial/tourist gaze memposisikan seni dan budaya kita terbelakang padahal berkembang bersama seperti dimana saja di dunia ini. Rogoff menjelaskan,

Geography and space are always gendered, always raced, always economical and always sexual. The textures that bind them together are daily re-written through a word, a gaze, a gesture (hal. 28).

Dikatakan - geografi dan ruang selalu dilihat secara gender, ras, ekonomik dan selalu seksual. Tekstur yang bisa mengkombinasinya bersama ditulis secara berulang melalui sebuah kata, pandangan, sikap. Dari mencoba membongkar pandangan-pandangan mengobjektifikasi pada karya Darmawan ini, membawa saya untuk bertanya: apakah harus ada sebuah gaze untuk membaca karya Nyoman Darmawan hari ini? Apakah kita bisa pinggirkan saja gaze apapun yang ingin kita tempatkan saat melihat karya Darmawan dan melihatnya secara keseluruhan secara seksama?

Satu frase yang menggelitik saya saat melihat karya-karya Darmawan adalah “polycentric aesthetics” atau estetika polisentris. Frase ini dibahas oleh Ella Shohat dan Robert Stam (1998) dalam esai mereka “Narrativizing Visual Culture: Towards a polycentric aesthetics” bagian dari Visual Culture Reader. Shohat dan Stam menyatakan bahwa ada “estetika alternatif tertentu” yang eksis di luar estetika Eropa yang kita kenal secara umum di pembelajaran seni rupa. Yang dimana,

These aesthetics are often rooted in non-realist, often non-Western or para-Western cultural traditions featuring other historical rhythms, other narrative structures, other views of the body, sexuality, spirituality, and the collective life (hal. 31).

Dikatakan - estetika ini sering berakar dari budaya tradisi yang non-realis, non-Barat atau di samping Barat dengan ritme historis, struktur narasi yang lain, juga pandangan tubuh, seksualitas, spiritualitas, dan kehidupan kolektif yang lain. Untuk Shohat dan Stam, seni dibuat “di antara individual dan komunitas dan budaya dengan proses dialog interaktif” dan ada “analisis historis terhadap relasi multikultural” yang “dibaca secara contrapuntal” - membaca dua atau lebih sisi yang berbeda bersama-sama (hal. 46). Inilah “pendekatan polisentris” yang memperbolehkan “keadilan dan kejernihan historis” terjadi di budaya visual (hal. 47). Mengetahui kreasi Darmawan adalah hasil dari pengembangan estetika komunal dan dari narasi tubuh, seksualitas, spiritualitas, juga kehidupan kolektif yang spesifik, maka estetika polisentris cocok untuk melihat karya Darmawan.

Apakah ini menjadi gaze yang lain? Tidak juga. Karena estetika polisentris mempersilahkan kita menjadi kontrapuntal, maka pendekatan ini memberikan kita kesempatan untuk melihat karya Darmawan dari segala narasi atau cerita - pada ruang dan waktu tertentu. Anda bisa melihatnya berdasarkan kepercayaan Bali pada tubuh, seksualitas dan spiritualitas - keseimbangan Lingga dan Yoni; yang lainnya adalah latar belakang historis Darmawan yang ditulis Kurator Susanta Dwitanaya; dan bisa juga dari pemahaman gaya Pengosekan dengan segala kemungkinan dan kreatifitas tak terbatas seperti yang terlihat pada karya Darmawan; etc.

Jadi, akankah anda mencoba lensa estetika polisentris terhadap Lika Laku - Nyoman Darmawan’s Cosmic Pavement?

Referensi
Irit Rogoff (2000) Terra Infirma: Geography’s Visual Culture. London: Routledge.
Ella Shohat and Robert Stam (1998), “Narrativizing Visual Culture,” in The Visual Culture Reader. Ed. Nicholas Mirzoeff. New York: Routledge.

[G]

⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp