“…ngambar to care rage mejalan nyelepin alas ane bet, ane sing tawang rage tanggune, lakar neked kije, lakar neked bendan, sing to ane alih rage. Jeg mejalan gen, ape ye ane tepuk di pejalane to, ya to ane gambar rage, dadi dasar ide rage, kembangin rge biin di karya rage. Ane penting bagi rage sing lakar neked kije ne, tapi ape ane tepuk saat mejalan to. Keto yen rage ngambar, care nylogcag ngenah gambaran rage kan, karena ide rage mula keto, ape ye ane pesu di keneh rage, ya to ane gambar rage…”
(…melukis bagi saya ibarat memasuki hutan yang penuh belukar, yang tak berujung, saya tak tau akan berujung dimana dan akan sampai kapan, bukan itu yang saya cari. Berjalan saja, apa yang saya temui dalam perjalanan itu, ya itulah yang saya lukiskan, menjadi dasar ide saya, saya kembangkan menjadi karya. Jadi, yang terpenting bagi saya bukan sampai dimananya, tapi apa yang dijumpai ketika berjalan itu. Seperti itulah ketika saya melukis, itu mengapa terkadang terlihat acak (secara ide), karena ide saya memang begitu, apa yang terbesit di batin saya, ya itu yang saya gambarkan)
- Nyoman Darmawan1
Ini kesekian kalinya saya dan Nyoman Darmawan berkolaborasi dalam satu ruang pameran. Dahulu hampir dua puluhan tahun yang lalu, saya memulai berkenalan dengan karyanya ketimbang mengenalnya secara personal. Kala itu di pertengahan tahun 2000an ketika saya masih menjadi mahasiswa di Undiksha Singaraja, saya menyaksikan beberapa kali Nyoman berpameran bersama dengan para perupa muda segenerasinya dari ISI Denpasar. Karya-karya Nyoman pada masa itu banyak mengeksplorasi kecenderungan rupa realis dengan mengangkat berbagai ikon dalam kebudayaan pop. Sebuah kecenderungan yang jamak menggejala dalam eksplorasi para perupa muda Indonesia kala itu termasuk Bali terutama pada masa booming dan pasca booming seni rupa kontemporer Indonesia pada tahun 2008 silam.
Perjumpaan demi perjumpaan di ruang pameran, perbincangan demi perbincangan mengantarkan kami pada jalinan pertemanan. Hingga pada tahun 2013 (tahun tahun awal saya mulai menggeluti dunia kurasi dan penulisan seni di dekade 2010-an) saya diminta olehnya untuk mengkurasi pameran duetnya bersama perupa Made Karyana dari Batuan, yang berjudul “Habit” di Hitam Putih Art Space, sebuah ruang alternatif yang dikelola oleh perupa Gusti Putu Buda di kawasan Sangeh. Pada pameran tersebut saya melihat karya Nyoman telah meninggalkan gaya melukis dengan teknik realistik yang Ia dapat di bangku akademik. Karya-karyanya tak lagi tampak seperti karya karya yang Ia pamerkan saat pertama kali saya melihat karyanya di pameran tiga tahun sebelumnya. Ia memilih untuk kembali pada teknik yang diwariskan padanya di keluarga dan lingkungan desanya, Pengosekan. Saya juga melihat hal yang sama pada Made Karyana tandem Nyoman saat berpameran duet kala itu. Sehingga sebagai kurator saya mengajukan “Habit” sebagai frame kurasi untuk membingkai kecenderungan berkarya mereka berdua yang berangkat dari kebiasaan melukis yang berakar dari apa yang mereka berdua dapatkan dari lingkungan masing masing. Nyoman dengan Pengosekan-nya dan Karyana dengan Batuan-nya.
Sembari menjalani proses studio visit dan riset kuratorial untuk pameranya kala itu, saya mendengar banyak cerita-cerita pengalaman masa kecilnya yang terlahir sebagai anak Pengosekan yang sejak kecil sudah akrab dengan aktivitas melukis. Nyoman juga banyak berbincang tentang seluk beluk teknik melukis, latar historis, hingga aspek perkembangan artistik yang berkembang di Pengosekan yang Ia dapati dari proses pembelajaran yang terjadi dan mentradisi di lingkungan keluarganya sendiri dan pada para pelukis di lingkungan sekitarnya. Hingga gagasan berkeseniannya untuk kembali menggeluti dan mengembangkan karya-karya personalnya dengan berangkat dari pengetahuan dan praksis melukis yang Ia dapat dari lingkungannya tersebut. Ia mengaku terimpresi dengan apa yang Ia dapati dan temui dalam dinamika aktivitas seni lukis di Pengosekan bahwa dalam komunalitas terdapat ruang dan peluang bagi hadirnya karakter individualitas dalam karya. Dengan berkaca pada para pendahulunya di Pengosekan seperti Dewa Mokoh, Dewa Batuan dan para pelukis lain yang mampu tampil dengan karakter visualnya yang khas dan mempribadi walaupun berangkat dari tradisi melukis Pengosekan yang berangkat dari semangat komunalitas. Maka sejak saat itu Nyoman semakin mantap dengan pilihanya untuk membentangkan gagasanya berjalan di hamparan semesta imajinasinya dengan mengunakan bahasa visual yang berpangkal dari tradisi melukis Pengosekan.
Kini dalam pameran tunggal pertamanya di Nonfrasa yang berjudul “Liku,Laku Cosmic Pavement of Nyoman Darmawan” di Nonfrasa Gellery menjadi momentum presentasi bentang perjalanan kreativitas Nyoman dalam menghadirkan capaian artistiknya yang berangkat dari teknik melukis Pengosekan serta berbagai varian gagasan personal yang menjadi tema dalam setiap karyanya. Apa yang dihadirkannya baik dari segi artistik maupun tematik tampaknya tidak cukup terbaca jika misalnya kita memakai model pembacaan yang hanya bersandar pada estetika modernis yang telah mapan dan ajeg.
Nyoman sebagaimana juga sebagian perupa Bali generasi kini yang tumbuh dalam persilangan antara bagaimana mencerap pengetahuan seni melalui proses pembelajaran secara tradisional yang yang komunal dengan pengalaman mencerap pengetahuan seni secara akademik (modern) kita akan berhadapan dengan kompleksitas yang menarik. Bagaimana menatap karya-karya serta memaknai proses kreasi Nyoman dengan berpangkal dari kesadaran menempatkan dirinya sebagai subjek, sebagai seniman Bali hari ini dalam dua irisan tersebut (pengetahuan seni secara akademik dan pengetahuan komunal yang dicerap melalui pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang bersifat tacit).
Maka diperlukan satu model pendekatan estetik yang lebih cair dan majemuk yang melibatkan aspek sosiokultural darimana dan bagaimana seorang perupa bertumbuh dan hadir mempresentasikan karyanya. Sebab demokratisasi dalam kehidupan global, kini tengah berupaya untuk menerabas dominasi dominasi dan kuasa pengetahuan dari satu entitas kultural, ideologi, gender, dan sekat sekat lainnya. Keberagaman suara dari berbagai entitas yang memiliki konteks historis dan kultural yang beragam dalam rumah bersama bernama dunia, kini memiliki peluang yang sama dan setara untuk hadir, berdialog dan menyatakan eksistensinya tanpa saling mendominasi. Dalam konteks pameran ini Savitri Sastrawan selaku salah tim kurator pameran ini dalam tulisan kurasinya mengajukan satu model pembacaan dengan teori estetika polisentris sebagai salah satu pisau bedah yang dapat melihat dan mendudukan karya dan proses kreasi Nyoman secara lebih jernih.
Apa yang saya paparkan dalam tulisan ini adalah upaya untuk menghadirkan zoom in atau tatapan lebih dekat dari konsep estetika polisentris yang dilontarkan Savitri pada tulisanya dan melihat konteksnya dalam karya dan konsep berkesenian Nyoman. Tulisan ini akan mencoba memeriksa hal hal yang menjadi latar historis yang berpengaruh dalam proses kreasi Nyoman hingga Ia menjadi subjek atas gagasan dan karya-karyanya kini. Upaya pemeriksaan tersebut akan melibatkan aspek historis seni lukis Pengosekan, konsep-konsep yang menjadi tema dalam karya Nyoman hingga capaian dan tawaran artistik apa yang Nyoman hadirkan dalam pameran tunggalnya kini.
Nyoman Darmawan dalam Genealogi Artistik Pengosekan
Nyoman Darmawan lahir dari keluarga yang dekat dengan aktivitas melukis di Pengosekan. Ayahnya adalah I Ketut Gelgel dan Ibunya adalah Ni Made Pastini. Aktivitas melukis dalam keluarga Kuek dimulai dari sang kakek I Wayan Gedot. Sebab, I Wayan Gedot adalah salah satu pelukis Pengosekan yang proses berkesenianya sejaman dengan para pelukis di Pengosekan generasi Pita Maha seperti Gusti Kobot dan Gusti Baret. Nama I Wayan Gedot tercatat sebagai salah satu pelukis yang terlibat dalam beberapa pameran yang diselenggarakan oleh Belanda dalam rentang waktu 1930 – 1940an di beberapa tempat. Salah satunya adalah pameran di Batavia Kunstring pada tahun 1946.2
Sedangkan Ni Made Pastini adalah anak perempuan Gedot yang juga mewarisi pengetahuan melukis dari sang ayah. Pastini pernah tergabung dalam komunitas perupa perempuan Bali yang bernama Seniwati3 terutama diawal awal berdirinya komunitas ini pada awal dekade 90an. Sedangkan I Ketut Gelgel adalah murid I Wayan Gedot yang kemudian nyentana4 ke rumah sang guru dengan menikahi Pastini. Dari ruang dan pengalaman mencerap pengetahuan dan teknik kesenirupaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar di Pengosekan itulah Nyoman Darmawan bertumbuh dan memberi kontribusi atas karya, lelaku, dan visi berkesenianya kini.
Pola pendidikan yang berlangsung secara cair dan menyatu dalam kesehariannya itu membawa dampak signifikan pada kehadiran Nyoman Darmawan sebagai perupa. Hal ini juga terjadi dalam proses kreasi para perupa Bali dari generasi ke generasi yang kemudian memilih untuk menjadi pribadi dengan tetap berpijak pada pilihan bahasa visual yang didapat melalui warisan geneologis keluarga, maupun yang didapat dari proses pembelajaran dengan berguru pada seniman pendahulu dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sistem pendidikan yang mentradisi diluar institusi formal akademik modern dengan struktur dan perangkat pembelajaran semisal kurikulum yang baku. Hal ini juga terjadi di desa Pengosekan. Salah satu desa yang memiliki tradisi melukis yang melahirkan beberapa generasi.
Sistem pewarisan pengetahuan yang berlangsung dan mentradisi dalam konteks pola pendidikan seni rupa di Pengosekan juga terjadi di beberapa desa di Bali yang memiliki tradisi melukis atau berkesenian secara umum. Model sistem pendidikan ini dapat terbaca dalam dua pola berdasarkan ruang dan hubungan sosial antar pelakunya. Pola yang pertama adalah pola pewarisan seperti yang dialami oleh Nyoman Darmawan dimana keluarga dan ikatan hubungan kekerabatan menjadi ruang ruang pembelajaran itu. Orang tua ke anak, demikian seterusnya.
Keluarga adalah sekolah, pranata sosial paling primer bagi individu dalam menyerap pengetahuan. Hal ini mengingatkan kita pada konsepsi catur guru5 dalam filosofi Hindu Bali dimana orang tua dalam konsepsi ini disebut sebagai guru rupaka6 yang bertugas tak hanya melahirkan keturunan dan bereproduksi tapi juga merawat dan mendidik generasi yang lahir dari pranata keluarga dengan cara mewariskan nilai nilai, tata cara hidup termasuk pengetahuan yang berkembang dan dimiliki oleh keluarga tersebut. Sebab warisan keluarga atau yang dalam masyarakat Bali disebut sebagai tetamian bukan hanya warisan dalam wujud tangible atau hal hal yang bersifat fisikal atau material saja tapi juga tetamian yang bersifat intangible terkait dengan nilai, pengetahuan, cara bertahan hidup hingga tanggung jawab sosial atau ngayah.
Pengetahuan berkesenian termasuk dalam warisan itu jika dalam keluarga itu memiliki garis keturunan dalam berkesenian. Tanggung jawab si penerima warisan adalah meneruskan dan mengembangkan warisan itu sebagai cara untuk berbakti pada guru rupaka atau orang tua sekaligus bisa menjadi bekal keterampilan atau gunan awak dalam bertahan hidup. Nilai dan pengetahuan sebagai gunan awak atau bekal hidup ini secara puitis dituliskan oleh pujangga Bali Ida Pedanda Sidemen dalam Geguritan Salampah Laku sebagai; “tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin” yang artinya jika tak memiliki lahan sawah maka rawat dan tanamilah lahan yang ada pada diri.
Pola kedua adalah pola pendidikan yang berlangsung di luar garis keluarga. Di Bali kita mengenal istilah meguru, atau dalam istilah istilah dalam teks teks Bali disebut dengan istilah aguron guron atau maguru sisya. Pola ini juga dikenal sebagai nyantrik dalam istilah Jawa yang diserap kedalam diksi bahasa Indonesia. Pola ini mengacu pada tradisi berguru dalam lingkungan masyarakat komunal. Seseorang yang dikenal memiliki kempauan dan pengetahuan pada bidang tertentu akan didatangi oleh seorang yang akan belajar tentang pengetahuan tersebut yang kemudian didaulat sebagai guru. Interaksi guru dan murid ini bisa terjadi di lingkungan sekitar antar tetangga atau pisage dalam istilah Bali atau antar sesama warga masyarakat yang lebih luas. Hal ini misalnya dapat kita lihat dari ayah Nyoman Darmawan, I Ketut Gelgel yang merupakan tetangga dari I Wayan Gedot kakek Nyoman, yang pada mulanya datang untuk berguru melukis sebelum kelak menjadi menantu di keluarga Gedot.
Sistem pembelajaran dalam dua pola pendidikan dan pewarisan pengetahuan ini berlangsung secara cair, masing masing keluarga atau seniman yang menjadi guru bagi para murid yang belajar akan mererapkan pola yang beragam. Nyoman Darmawan menuturkan bagaimana pada masa kecil ketika Ia mulai belajar melukis pada orang tua dan kakeknya hal pertama yang dilakukan Nyoman sebelum belajar melukis adalah membantu sang kakek ataupun kedua orang tuanya untuk nguyeg mangsi atau mengencerkan tinta cina batangan dengan cara menggosokkan tinta batangan tersebut yang akan digunakan melukis. Selain belajar mengencerkan tinta juga diajarkan bagaimana membuat kuas bambu hingga menyiapkan kanvas.
Setelah fasih dalam menyiapkan alat dan bahan dalam melukis lalu beranjak ke pembelajaran teknik yang menyangkut tahapan tahapan melukis. Mulai dari ngepah, yakni proses membuat komposisi objek pada bidang gambar. Pengaturan tata letak objek pada bidang gambar. Ada beberapa jenis tahapan ngepah yakni ngepah karang atau ngedum karang yakni mengatur tata letak objek dalam bidang gambar, membagi komposisi objek dalam bidang gambar. Lalu dilanjutkan dengan membuat sketsa kasar beberapa jenis objek yang ada dan akan dibuat dalam bidang gambar yakni; ngepah jelema yaitu membuat proporsi objek manusia, ngepah don membuat susunan daun daunan dan jenis ngepah yang lain tergantung objek yang akan dilukis. Setelah ngepah dilanjutkan dengan ngorten yakni membuat sketsa yang lebih detail dari tahapan ngepah.
Dari ngepah berlanjut ke tahap nyawi yakni memberi tinta pada hasil ortenan atau sketsa yang dibuat dengan menggunakan pena dari iyip (ijuk) ataupun pena bambu. Selesai tahap nyawi berlanjut ke tahap nyelah, tahapan ini adalah membuat dasar gelap terang dengan menggunakan tinta cina. Objek yang paling belakang di gelapkan dengan mangsi banyu atau tinta yang encer karena dicampur banyak air sedangkan objek yang bagian depan dibiarkan terang tanpa dipulas dengan tinta. Tahap berikutnya adalah ngabur, ini adalah tahapan pemberian kesan volume atau value pada objek dengan memberikan kesan gelap terang dengan tinta cina. Ada tiga jenis abur berdasarkan teknik dan alat yang digunakan yakni ngaud, ngeskes dan nyigar. Ngaud adalah model teknik ngabur dengan menggunakan kuas bulu, dua buah kuas digunakan dengan teknik ini yang pertama kuas untuk warna kemudian kuas yang lagi satu dipakai khusus untuk air.
Kuas pertama menyapukan tinta cina pada beberapa bagian gambar lalu kuas kedua menyapukan bagian itu dengan air saja proses ini disebut maid dalam proses maid ini diharapkan gelap terang yang dihasilkan akan halus atau istilah perupa Pengosekan disebut ngampar. Kuas bulu yang dipakai dalam proses ini dahulunya adalah kuas bulu dari bulu kuda atau dari bulu kambing yang diikat dengan serat yang dihasilkan oleh sejenis ulat yang didapat dari sejenis pohon yang disebut pohon utah. Sehingga kuas jenis ini juga disebut dengan kuas utah utah. Dalam tradisi melukis di Batuan proses ngaud ini dikenal dengan istilah ngucek. Model teknik ngabur yang kedua adalah ngeskes. Proses ini menggunakan teknik kuas kering dan teknik dussel dengan pengaplikasian satu kuas saja. Kuas yang biasa digunakan adalah kuas bambu. Varian teknik yang ketiga adalah nyigar. Teknik ini adalah teknik menghadirkan gradasi gelap terang ataupun warna yang dibuat secara bertahap dan berlapis dari tone warna terang ke gelap. Dalam tradisi melukis di Kamasan teknik ini disebut dengan ngampad. Setelah proses ngabur dilanjutkan dengan proses nguap. Proses ini adalah proses menyapukan warna dasar yang dominan pada keseluruhan bidang gambar. Dalam teknik melukis ala eropa proses ini mirip seperti proses under painting. Selanjutnya dilanjutkan dengan proses ngewarna atau pemberian warna pada lukisan dan yang terakhir adalah proses nyenter atau pemberian detail dan kesan cahaya dengan warna terang atau putih pada bagian bagian lukisan tertentu.7 Dalam tradisi melukis di Kamasan proses ini dipadankan dengan istilah mletik.
Semua proses pembelajaran yang bersifat teknis ini berlangsung dalam metode observasi melihat sang guru sekaligus orang tua dan kakeknya berkarya lalu mencoba melakukan praktik melukis sendiri. Kakek dan kedua orang tua Nyoman akan menyisipkan pengetahuan, masukan hingga kritikan secara langsung sembari proses praktik melukis itu terjadi. Seperti itulah kurang lebih gambaran proses pembelajaran yang terjadi pada Nyoman Darmawan maupun pada pelukis yang lain baik yang mengalami sistem pembelajaran secara pewarisan maupun secara nyantrik. Proses transfer pengetahuan ini pada beberapa individu-individu pelukis tak lantas menjadikan hasil karya yang dihasilkan menjadi replikasi dari karya sang guru. Seiring bertumbuhnya kesadaran dan didorong oleh kesadaran yang muncul dari dalam diri perupa mereka bertumbuh mengembangkan gagasan ide dan tematik karya mereka sendiri untuk lepas dari gaya visual sang guru. Dari sini kita dapat melihat bagaimana dari proses transfer pengetahuan berujung pada tranformasi artistik oleh masing masing perupa. Hal ini terjadi pada diri Nyoman karena persinggunganya dengan kesadaran akademik yang diperoleh secara akademik dengan studi seni rupa secara formal di ISI Denpasar maupun dengan melihat para pelukis Pengosekan yang mampu tampil dengan berbagai karkaternya yang mempribadi walaupun berakar dari tradisi teknik dan pengetahuan melukis yang didapat dalam sistem pembelajaran yang mentradisi di desa Pengosekan.
Tranformasi artistik yang terjadi di desa Pengosekan sebagai sebuah desa bertumbuh sebagai salah satu locus yang subur dengan praktik dan pengetahuan melukis yang digerakkan oleh sebagian pelakunya terjadi dalam rentang sejarah yang panjang dari dekade 1930an sampai kini. Kondisi ini kemudian melahirkan penamaan atas segala bentuk aktivitas melukis yang tumbuh subur di desa ini sebagai mazab atau gaya Pengosekan.Berbagai perkembangan tersebut terjadi sebagai kesadaran yang tumbuh dari dalam sebagai dampak dari perubahan sosial yang terjadi di desa Pengosekan dan Bali secara umum. Seperti kita ketahui bersama bahwa seni rupa pada mulanya bukanlah ekspresi yang otonom. Seni rupa adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan aktivitas adat dan religi. Seni rupa adalah bagian dari aktivitas ritual tersebut yang hadir dalam bentuk bentuk ritus dan yantra atau sarana pendukung ritual religi tersebut. Dalam konteks ini seni rupa juga sangat terkait dengan aspek tekstual tradisi dan religi yang berkembang pada masyarakat Bali. Teks teks seperti Mahabarata, Ramayana maupun berbagai teks yang terkait dengan aspek filosofis, spiritualitas dan religi Hindu tersebut tumbuh subur dalam masyarakat Bali hadir dalam aktivitas kesenian termasuk seni rupa. Karya seni rupa Bali kemudian hadir menjadi ilustrasi atas narasi yang dilamnya juga terdapat proses interpretasi atas teks dan narasi tersebut. Maka karya karya seni rupa Bali pada masa lampau hingga kini tak lepas dari tema-tema pewayangan yang kerap hadir. Hal ini juga terjadi di Pengosekan, beberapa karya dari para pelukis Pengosekan yang aktif berkarya pada tahun 1930an seperti Gusti Kobot, Gusti Baret termasuk Wayan Gedot (kakek Nyoman Darmawan) dan para pelukis Pengosekan yang segenerasi dengan itu menampilkan karya yang didominasi oleh cerita pewayangan sebagai pokok persoalan karyanya. Periode ini juga merupakan transisi dari adanya tranformasi artistik dalam seni lukis Pengosekan dan sekitarnya.
Berkembangnya organisasi Pita Maha sebagai lembaga kesenian yang terbentuk dari hasil interaksi para pelukis barat seperti Rudolf Bonet, Walter Spies dan para pelukis Bali serta penguasa Ubud kala itu Tjokorda Sukawati mulai melahirkan kesadaran baru bagi para perupa Bali termasuk di Pengosekan bahwa selain aspek religi seni juga berdimensi pada aspek lain dari kehidupan religi. Mulai terjadi perubahan kesadaran secara evolutif tentang komodifikasi karya seni rupa. Karya karya seni rupa Bali karya para perupa mulai dirayakan tidak saja di ruang religi tapi juga di ruang ruang yang profan, berbagai pameran digelar sejak 1936 hingga 1940an tidak hanya di Bali tapi juga di luar Bali. Selain itu pada periode ini juga mulai muncul tranformasi artistik yang terlihat dari perubahan tematik karya karya para perupa Bali termasuk perupa Pengosekan dari tema pewayangan menuju tema keseharian. Figur figur wayang mulai beralih ke figur figur manusia dan keseharianya, aktivitas di sawah, aktivitas di pasar, aktivitas adat dan religi mulai muncul pada kanvas kanvas perupa.
Pada perkembangan berikutnya pasca kemerdekaan, pariwisata Bali dan Ubud khususnya kian bertumbuh berbagai infrastruktur penjunjang pariwisata mulai bertumbuh kios kios yang menjajakan cinderamata bagi para wisatawan yang berkunjung juga menjajakan karya seni lukis dan karya seni rupa lainya. Art shop dan gallery seni mulai tumbuh di sekitaran Ubud termasuk Pengosekan perkembangan ini masif terjadi dalam tiga dekade dari dekade 70an, 80an hingga 90an. Hal ini menyebabkan permintaan dan kebutuhan karya seni khususnya seni lukis sebagai komoditi pariwisata semakin masif. Para orang asing yang datang ke Bali bukan hanya untuk kepentingan berwisata tapi sekaligus mengembangkan usaha. Golongan ini juga melihat masifnya pertumbuhan para pelukis di Pengosekan, beberapa orang asing tersebut juga memesan jenis lukisan tertentu yang secara tematik dapat dijadikan kebutuhan artistik untuk interior tema tema lukisan seperti flora dan fauna ataupun gaya naturalistik dengan memakai teknik yang telah berkembang sebelumnya di Pengosekan mulai marak terjadi. Hal inilah yang juga memberi dampak pada pada maraknya tranformasi artistik dari karya-karya pewayangan, kehidupan sehari hari hingga perkembangan lukisan flora dan fauna yang masif pada dekade 80an hingga 90an.8
Tranformasi sosial dan ekonomi dari agraris ke turisme di Pengosekan ini tak lantas menjadikan semua pelukis larut dalam trend artistik yang tengah terjadi. Muncul nama nama pelukis seperti Dewa Mokoh dan saudaranya Dewa Nyoman Batuan yang hadir dengan karkater artistik tersendiri yang berbeda dari trend visual flora fauna yang tengah masif di Pengopsekan. Dewa Mokoh hadir dengan karya-karya yang berangkat dari keseharian, terkadang nakal dan menggelitik, selain dari sisi tematik terobosan Mokoh juga hadir secara visual peelukisan bidang gambar yang tak terlalu padat, warna warna yang tipis serta figur figure yang khas namun tetap berangkat dari teknik melukis yang berkembang di Pengosekan membuatnya meraih rekognisi sebagai perupa dengan terobosan dan karakter individu dalam medan sosial seni rupa. Demikian juga dengan Dewa Batuan yang hadir dengan karya yang mengeksplorasi mandala. Juga hadir generasi pelukis Dewa Putu Sena, Ototol hingga Muniasih perupa outsider Pengosekan yang merupakan murid dari Dewa Mokoh.
Apa yang terjadi di Pengosekan khususnya maupun di Bali pada umumnya, dalam konteks kehadiran para perupa yang memiliki karakter individual dengan berangkat dari eksplorasi dan pengembangan teknik seni rupa yang mentradisi dalam ruang komunal masing masing jamak terjadi. Hardiman seorang kurator, akademisi dan kritikus seni rupa Bali menganalogikan fenomena ini sebagai fenomena dalam dunia bahasa. Dalam dunia linguistik dikenal adanya istilah dialek atau variasi khas dari sebuah bahasa dalam wilayah atau masyarakat dalam geokultural tertentu. Dialek ini juga melahirkan ideolek yang menjadi ciri atau karakter dari individu tertentu sebagai penutur dialek.9 Maka jika mengacu pada analogi Hardiman ini seni lukis yang berkembang di Pengosekan adalah dialek visual dari bahasa visual Bali yang memiliki dialek visual Kamasan, dialek visual Batuan, dialek visual Sanur, dialek visual Kerambitan, dialek visual Singaraja dan lain sebagainya. Dan hadirnya individu individu seperti Kobot, Mokoh, Dewa Batuan, Murni, hingga Nyoman Darmawan adalah ideolek visual Pengosekan.
Nyoman Darmawan sebagai anak Pengosekan yang lahir pada pertengahan dekade 80an dan belajar melukis sejak kanak kanak telah menyaksikan berbagai tranformasi artistik yang terjadi di Pengosekan. Memori melihat tranformasi sosial hingga artistik itu terus membekas menumbuhkan kesadaran dan keyakinan yang kuat dari dalam dirinya serta didorong oleh kesadaranya setelah memasuki dunia pendidikan seni secara akademik di tahun 2002. Irisan-irisan pengalaman yang berpadu dengan kesadaran inilah yang menyebabkan sejak tahun 2013 selepas meninggalkan dunia kampus dan setelah mencoba berbagai kemungkinan artistik yang didapat di bangku akademik Ia memutuskan kembali pada apa yang dari dahulu telah menubuh dalam dirinya.
Ia kemudian kembali pada seni lukis Pengosekan mengembangkan kosa rupa yang didapat sejak kecil yang telah dijadikan bahasa visual untuk menjadi media baginya dalam menyampaikan gagasan dan membangun dialog dalam konstelasi seni rupa Bali kontemporer. Nyoman Darmawan ada di barisan perupa muda Bali hari ini yang dengan kesadaran dari dalam hadir menjadi penutur tentang berbagai hal mulai dari kehidupan sosial hingga kegelisahan personal dengan bahasa ungkap visual yang berakar dari kosa rupa Bali.
Menyimak Fragmen-Fragmen Perjalan Nyoman Darmawan Pada Semesta Lukisannya
Sebagian lukisan Nyoman Darmawan secara kasat mata menghadirkan nuansa yang dekat dengan seksualitas, tubuh, terkadang tampak sureal dan imajinatif, terkadang menggelitik, nakal sesekali juga magis. Tak hanya seksualitas yang kemudian mengarah pada erotika yang dihadirkan pada beberapa karya Nyoman kita juga melihat tema-tema yang tampak dekat dengan dunia spiritualitas, sekaligus berdimensi sosial budaya. Hampir semua lukisan lukisan Nyoman terutama yang menampilkan seksualitas tidak digambarkan secara telanjang. Figur figur lelaki dan perempuan yang sedang bercumbu atau larut dalam pergumulan yang panas hampir tak ada dilukiskan dengan telanjang, semuanya dilukiskan dalam busana adat Bali. Figur lelaki dengan penis yang menjuntai hingga menembus langit dan ruang angkasa atau yang melilit pada pohon kelapa misalnya semua digambarkan muncul dari balik kain (kamen) sang figur lelaki. Demikian juga dalam menggambar perempuan Ia tak pernah menggambarkan tubuh perempuan telanjang atau secara banal melukiskan kelamin perempuan misalnya dalam karya-karyanya yang secara visual menggambarkan adegan adegan intim antara lelaki dan perempuan. Lantas apakah Nyoman sedang melukiskan erotika dalam lukisanya? Apakah erotika dalam karya-kayarnya adalah metafora? Pertanyan pertanyaan itu muncul dalam benak saya misalnya ketika melihat beberapa karya dalam lukisan Nyoman yang menghadirkan objek objek seperti lelaki dengan penis memanjang, perempuan berbusana adat dan membawa persembahan, tangga yang menjulang tinggi menuju semesta yang tak berujung. Sebagai lelaki saya tak menangkap rasa sensual nan erotis dalam lukisan ini, saya menangkap ada metafora spiritualitas yang ingin disampaikan Nyoman dalam karyanya. Demikian juga dalam karyanya yang lain.
Karya-karya Nyoman selalu mengundang rasa penasaran untuk menyelaminya, untuk berbincang dan menanyakan setiap hal yang muncul dalam karyanya. Pada setiap karya-karyanya Nyoman akan fasih bercerita secara jujur dengan peristiwa –peristiwa apa yang melatarbelakangi setiap lukisanya. Terkadang peristiwa yang Ia alami dalam kehidupanya, atau kisah kisah yang Ia temui di lingkungan sosialnya, hingga mimpi-mimpinya. Realitas dan imajinasi hadir berkelindan dalam karya-karyanya. Sebagaimana Ia menganalogikan bahwa kerja melukis sebagai sebuah perjalanan yang saya kutip sebagai prolog diawal tulisan ini maka setiap karya-karya Nyoman bukan hanya soal seksualitas, erotisme, namun juga ungkapan tentang perjalanan hidup manusia, tentang gejolak, hasrat, imajinasi dan pikiran pikiran yang terus bergerak. Hal yang sederhana dan mendasar pernah saya tanyakan pada Nyoman, kenapa dalam melukis adegan yang berasosiasi pada seksualitas dan erotis Ia tidak menggambar figur figurnya secara telanjang? Nyoman menjawab itu hanyalah sebuah perumpamaan, sebuah metafora dari pikiran pikiran atau imajinasi manusia yang terus bergerak. Ia menyebutkan; “siapa yang pernah tahu pikiran pikiran terdalam sesorang ketika melihat sesuatu hal. Melihat lawan jenis dengan busana dan pakaian lengkap bahkan berbusana ke Pura untuk sembahyang misalnya kita tak pernah mengetahui apa yang bekerja dalam pikiran tiap tiap orang, bisa jadi pikiran kita atau mereka sepenuhnya melihat hal yang sebaliknya, yang tak terduga. Kekuatan pikiran imajinasi bisa menembus sekat sekat yang tak tampak secara fisik. Siapa yang berani menjamin pikiran kita saat bersembahyang di pura semuanya berfokus pada pikiran tentang Tuhan, tentang religius? Mungkin saja sebagian dari kita memikirkan hal hal yang sangat duniawi misalnya”10 terang Nyoman menanggapi pertanyaan saya.
Saya pernah mencecarnya dengan pertanyaan pertanyaan lebih jauh yang lebih esensial mengingat sebagian karyanya tampak mengeksplorasi hal hal yang terkait dengan seksualitas yang dalam perspektif norma akan segera dianggap sebagai sesuatu yang tabu, atau bahkan kerap dipahami sebagai sesuatu yang eksploitatif atas seks. Baginya sensasi bercinta, berhubungan intim yang ia hadirkan dalam karyanya hanyalah serupa metafora serupa analogi tentang gairah, tentang hasrat untuk berkarya untuk menciptakan semesta atau alam atau dunia yang lahir dari imajinasinya sendiri atas pengalaman pengalaman yang dilalui. Ia berangkat dari pengalaman emprisnya, Ia menganalogikan dan melihat berbagai hal dalam budaya visual yang ada di Bali misalnya. “Kenapa simbol simbol seperti lingga yoni begitu dekat dan begitu masif hadir dalam kebudayaan kita untuk menggambarkan penciptaan. Kenapa kita memuja kelamin, kenapa kita memuja seks ? bukankah itu adalah sebuah simbol adalah sebuah metafora tentang penciptaan itu sendiri” ungkap Nyoman kepada penulis. Maka apa yang dihadirkan Nyoman dalam karya-karyanya bukan melulu tentang seksualitas bukan melulu tentang erotika bukan melulu tentang fetish dan gairah seksual yang meluap, atau pransangka prasangka yang menghakimi Nyoman hanya mengeksploitasi seksualitas, kecabulan dalam karyanya. Melainkan ada sesuatu tentang hal yang esensial dalam konteks dirinya sebagai perupa yakni tentang gairah, ide, gagasan dalam menciptakan karya. Apa yang dibicarakan dalam karyanya baginya bisa bermacam macam bisa lahir sebagai ungkapan personalnya sebagai individu, sebagai kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga, sebagai ayah dan suami, sebagai bagian dari warga masyarakat dalam kehidupan sosial atau sebagai dirinya dengan segala kesenangan dan hobinya seperti kesenanganya memancing, atau berburu binatang memasuki belantara dan belukar.
Lalu apa yang bisa Ia bagikan pada kita sebagai pengapresiasi karyanya? Sebagaimana yang Ia paparkan bahwa bukan ujung atau akhir dari cerita perjalananya yang ingin Ia cari atau ingin dia sampaikan kepada kita. Tapi bagaimana cara dia menikmati melalui perjalan itu atau dalam konteks penciptaan karya adalah bagaimana Ia melihat dunia melihat kenyataan dengan cara ungkap dan imajinasi yang Ia hamparkan pada kanvas-kanvasnya. Jika kita analogikan karya-karyanya adalah diari maka bukan semata isi diari dan kisah dalam diari Nyoman Darmawan yang menarik untuk kita simak tapi bagaimana cara dia melukiskan atau menyampaikan diari itu. Bukankah seni sebagaimana juga sains maupun agama adalah cara untuk melihat realitas yang secara empiris dialami oleh manusia?.
Jika kita melihat dari cara dan bagaimana Ia menghadirkan karyanya kita akan berjumpa dengan berbagai varian teknik dalam seni lukis Pengosekan yang Ia ramu, kembangkan, reduksi dan padukan dengan teknik melukis yang Ia dapat secara akademik. Kehadiran karyanya dengan teknik abur dan cawi, menghadirkan teknik ngeskes dengan media tinta cina yang hitam putih berpadu dengan teknik melukis secara akademik bagaimana menghadirkan landscpe atau bagaimana menghadirkan kosmik pada beberapa karyanya. Atau bagaimana Nyoman mereduksi komposisi yang padat dalam tradisi melukis di Pengosekan periode periode sebelumnya menjadi penghadiran objek dan ruang yang lebih lapang yang lebih lenggang secara komposisional. Juga dari cara penggambaran dari naratif ke sesuatu yang lebih liris lebih puitik dengan pilihan komposisi, penempatan objek dan warna warna yang transparan.
Begitulah tawaran artistik dan estetik yang bisa kita tangkap dan cerap pada karya-karya Nyoman Darmawan. Apa yang ditampilkan Nyoman sebagai individu yang bergerak dalam irisan antara menjaga warisan tradisi artistik komunal Pengosekan dengan kesadaran individu yang tumbuh dari dalam untuk menjadi pewaris yang tak pasif yang tak hanya mampu merepklikasi warisan namun mengembangkannya, membawanya sebagai bahasa ungkap personal dan mendialoggkanya kepada kita semua para apresian dalam perbincangan wacana seni rupa kontemporer hari ini yang merayakan kemajekukan gagasan tanpa hegemoni dan dominasi serta berbagai sekat sekat yang memfragmentasi kita dalam peradaban global.
Catatan dan Referensi
[G]