Dalam rangkaian acara di hari terakhir Gurat Gurit tahun 2022 (27 Juli), Gurat Institute meluncurkan sebuah buku kumpulan tulisan dan karya seni budaya rupa berjudul "HARD-IMAN" disusun oleh 18 orang penulis dan perupa muda yang didedikasikan sebagai kenang-kenangan Purna Tugas Dr. Hardiman M.Si--akademisi, seniman, sastrawan, sekaligus kurator dan penulis seni rupa yang telah menyumbang banyak pemikiran terhadap dunia seni rupa Indonesia khususnya di Bali tempat Hardiman berdomisili sekarang.
Buku ini mencakup tulisan-tulisan yang membahas peristiwa kesenian dari awal dekade 2000 berlanjut pada budaya rupa pada dekade 2010-2020 hingga masa kini. Kontributor tidak hanya berlatar belakang seni rupa, selain itu beberapa perupa muda turut ambil bagian dalam menyumbangkan dokumen berupa foto karya untuk turut serta diterbitkan, bukan sebagai ilustrasi melainkan berdiri sendiri sebagai sebuah karya seni yang membentuk buku ini menjadi utuh. Dengan demikian, buku ini tersusun atas karya tulisan dengan format akademik, populer, essay, pengantar kuratorial, puisi dan karya seni rupa berupa kolase digital, lukisan, seni grafis sehingga materi yang disajikan di dalamnya menjadi sangat beragam.
Satu bagian spesifik pada ranah seni rupa adalah sekumpulan penulis yang intens dalam dunia penulisan dan penelitian seni, terdapat pembahasan dari I Wayan Seriyoga Parta tentang tulisan Mendobrak Hegemoni oleh Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar yang pada masanya belum terdistribusikan dengan baik kembali dihadirkan serta dua tulisan kuratorialnya, I Made Susanta Dwitanaya melalui tulisan kuratorial, Vincent Chandra tentang biografi perupa dan tulisan kuratorial, Dewa Gede Purwita tentang kuratorial, Ni Luh Pangestu Widyasari tentang pengamatannya pada karya seni rupa anak penyandang disabilitas, Ni Wayan Penawati menyajikan tulisan kritis mengenai ruang publik seni rupa di Bali, I Wayan Suja berbagi pengalaman mengenai ulasan program residensi dan pameran, I Kadek Wiradinata tentang pameran prasi, I Wayan Nuriarta mengetengahkan persoalan komik dan Dewa Ayu Eka Savitri Sastrawan membicarakan tentang seni dalam kajian budaya. I Gede Gita Purnama A.P. dengan latar belakang sastra menyoal penamaan prasi dalam tegangan sastra dan seni rupa. Ni Nyoman Sani turut menyumbang puisi.
Dalam bagian spesifik lainnya, buku ini memajang karya seni grafis oleh I Kadek Septa Adi dan Putra Wali Aco. Ada pula karya prasi yang digarap secara kolektif oleh kelompok Oprasi. Sedangkan dalam karya seni lukis ada Anak Agung Istri Ratih, I Wayan Suja, Dewa Gede Purwita, I Nyoman Arisana, Vincent Chandra, dan I Kadek Wiradinata. Kolase digital secara khusus ditampilkan oleh Dewa Ayu Eka Savitri Sastrawan. Keseluruhan karya seni yang hadir dalam buku ini sebagaimana telah disebutkan di atas tidak untuk mengilustrasi tulisan yang ada, melainkan berdiri sendiri menyatakan dirinya sebagai karya seni yang turut serta membentuk buku ini. Tulisan dan karya seni hadir dalam satu buku utuh tentang capaian budaya rupa dan sebuah persembahan purna bakti untuk Dr. Hardiman.
Hard-Iman sebagai judul buku memang mendapatkan inspirasi dari ketokohan Dr. Hardiman dalam medan sosial seni rupa Indonesia sekaligus juga dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Sebagai salah satu kurator seni skala nasional, Hardiman sangat kuat dalam pembacaan karya-karya seni melalui bingkai strukturalisme juga antropologi, misalkan saja bagaimana wacana tentang tubuh menjadi subjek persoalannya. Dalam penelitian lainnya ia juga dikenal melalui pembacaan-pembacaan karya dari perempuan perupa yang diangkat melalui tesis dan disertasi.
Di lingkungan kampus, baik teman dosen maupun para mahasiswa, Hardiman dikenal sebagai orang yang keukeuh yang dalam terminologi bahasa Sunda berarti “bersikeras”, tentu saja demikian, sebab jika tidak ada figur Dr. Hardiman maka pameran-pameran dengan format riset mungkin tidak akan menjadi branding Seni Rupa, Undiksha. Misalkan saja pameran Membaca Bulian (2009) di Museum Seni Neka dan pameran Qilin (2016) dengan arah pembacaan akulturasi Tionghoa-Bali di Singaraja. Selain itu, populernya seni grafis di Bali juga tidak terlepas dari perannya pada tahun 2009, Hardiman mulai mengenalkan cetakan grafis pada kanvas dalam mata kuliah Seni Grafis II di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja, sejalan kemudian mendorong mahasiswa berkreasi dengan teknik handcoloring pada karya. Hal tersebut berhasil memunculkan sederet nama mahasiswa yang lolos sebagai finalis dalam Trienal Seni Grafis Indonesia, selanjutnya berimbas kepada digandrunginya seni cetak tersebut oleh mahasiswa dan di antaranya sangat menekuni seni cetak (grafis).
Komunitas Budaya Gurat Indonesia sebagai sebuah lembaga independen yang sejak awal berdiri hingga kini berusaha menjaga komitmen bersama sebagai sebuah lembaga independen yang bergerak dalam pengembangan riset, dokumentasi, kurasi, penulisan, edukasi, dan project-project kesenirupaan dan budaya visual berbasis pada locus seni dan budaya rupa Bali selalu berupaya menghadirkan karya dan program-program dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut. Penulisan buku bunga rampai sebagai rangkaian purna tugas Hardiman yaitu salah satu figur yang berperan dalam perkembangan seni rupa Bali baik sebagai kurator, kritikus sekaligus pendidik ini tidak serta merta diniatkan sebagai upaya mengkultuskan ketokohan Hardiman semata. Melainkan sebagai sebuah momentum untuk menghimpun dan mendorong segenap potensi para penulis dan pelaku seni rupa dan budaya Bali terutama dari kalangan muda, juga sebagai sebuah nukilan yang dapat memotret dinamika dunia seni rupa dan budaya visual Bali terutama pasca dekade 2000an karena hampir semua tulisan tulisan yang termuat dalam bunga rampai ini ditulis oleh para penulisnya pada rentang waktu pasca tahun 2000an.
Tulisan tentang pameran dan gerakan seni rupa Bali pasca reformasi, ditulis oleh para eksponen gerakan perupa muda Bali, seperti Wayan Suja dan I Wayan Seriyoga Parta mereka berdua adalah penyaksi sekaligus pelaku gerakan seni rupa Bali pada awal dekade 2000an. Mewakili generasi selanjutnya hadir tulisan-tulisan dari para penulis, akademisi, kurator serta perupa yang mulai bertumbuh dan berproses pasca dekade 2010 seperti Wayan Nuriarta, Made Susanta, Dewa Purwita, dan Savitri Sastrawan, Ni Nyoman Sani, Ni Luh Pangestu Widyasari, Kadek Septa Adi, dan I Nyoman Arisana. Ada juga Gede Gita Purnama, akademisi, peneliti, penulis, kurator dan aktivis gerakan literasi bahasa, aksara dan sastra Bali yang kini tengah meneliti tentang prasi sebagai salah satu bentuk karya rupa yang berada dalam irisisan sastra dan seni rupa Bali. Mewakili generasi penulis, kurator, dan perupa milineal Bali yang tumbuh dan berproses pada dekade 2020an ada Vincent Chandra, Ni Wayan Penawati, dan Kadek Wiradinata, Putra Wali Aco, Ratih Aptiwidyari.
Sebagai sebuah akhir dari pengantar, buku ini diterbitkan dengan dua alasan. Yang pertama sebagai kumpulan tulisan semacam bunga rampai mengenai budaya rupa, yang kedua sebagai kenangan purna bakti kepada Dr. Hardiman. Meskipun tulisan-tulisan juga karya-karya yang ada di dalamnya belum dapat dirangkum secara khusus dalam satu wacana utuh akan tetapi secara menyeluruh mampu hadir sebagai suatu jaringan-jaringan yang membentuk sebuah narasi budaya rupa Bali sebagai bagian dari budaya rupa Indonesia dan dunia global. Dengan terwujudnya semua ini, maka diucapkan terima kasih kepada para kontributor tulisan juga seniman yang turut menyumbangkan karyanya. Sekaligus juga kepada figur yang kami akrabi dengan sapaan Pak Har, selamat memasuki masa purna bakti, selalu dianugrahi kesehatan dan semangat. Semoga senantiasa menjaga produktivitas dalam pemikiran dan kekaryaan.
Gurat Institute, Juli 2022.