Seni khususnya seni rupa tidak hanya berhubungan dengan ekspresi personal semata, seni rupa juga berhubungan dengan orang lain di luar seniman, yang melihat, menikmati nilai seni yang disebut juga sebagai nilai estetika. Nilai estetika yang dimaksud adalah sebentuk nilai yang menjadikan sebuah wujud karya dapat menggugah rasa sang penikmat, secara sederhana nilai itu adalah sebuah keindahan. 

Aktivitas manusia sejatinya tidak dapat dilepaskan dari nilai keindahan ini, contoh sederhananya kini manusia menggunakan pakaian tidak hanya untuk melindungi tubuh saja. Pakaian kini menjadi sebentuk seni menampilkan keindahan diri, sehingga lahir seni mode atau disebut fashion. Bahkan tubuh manusia pun kini tak lepas dari sentuhan seni, katakanlah seni rias wajah, seni tata rambut, hingga seni permak wajah dan tubuh (aesthetics beauty) yang melibatkan teknologi dan bedah plastik.

Pulau Bali telah dikenal luas dengan kekayaan khasanah budayanya yang dilandasi nilai-nilai agama, di dalamnya kesenian sangat terkait dengan entitas religi. Seni adalah bagian inheren kehidupan keagamaan, bahkan disebutkan bahwa “agama adalah seni dan seni adalah agama itu sendiri”. Kebudayaan Bali yang sejak lama dikatakan memiliki akar tradisi yang kuat dan terus tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. 

Archive Menanam Air, FBS Undiksha, 2014

Dari akar sejarah kebudayaan Bali itulah, sosok seniman muda I Wayan Sudarna Putra (Nano) tidak saja berhenti hanya melukis di kanvas. Tetapi juga mengembangkan kekaryaannya hingga menyentuh kesadaran lingkungan. Dalam perkembangan kesenian khususnya seni rupa secara global, memang telah ada gerakan seni rupa yang membuat karya berbasis pada kesadaran lingkungan yang terwadahi dalam istilah enviromental art. Kesadaran perkembangan global itu kemudian bertemu dengan basis nilai-nilai lokal, dalam lingkup kesadaran diri Sudarna hingga menggerakkannya untuk membuat seni berbasis kesadaran lingkungan (ekologi) yang dia beri nama ”Menanam Air”.

Air di dalam tanah ditahan oleh akar tanaman dan pepohonan, jika tanah tidak berisi pepohonan niscaya air akan surut ke bawah hingga menjadi sungai bawah tanah. Maka kehadiran pepohonan sangat penting dalam menahan keberadaan air di bawah permukaan tanah, sehingga dapat dengan mudah diakses oleh makluk terutama manusia dengan jalan membuat sumur. Projek seni rupa menanam air tidak lain adalah menanam pohon itu sendiri dengan spirit menjaga sirkulasi air tanah.

Seni rupa dalam projek ini berfungsi praktis dan sekaligus simbolik. Praktisnya, untuk melindungi bibit pohon yang masih kecil dari kondisi alam maupun dari serangan predator pengganggu. Fungsi simboliknya adalah, dengan kehadiran karya dari anyaman bambu yang berbentuk pohon kering, kita (masyarakat) diajak menikmati sebuah hasil karya seni yang ”indah” dan menggugah rasa untuk melihat serta menggugah rasa senang untuk merawat terutama menyiram tanaman tersebut.

Material (bahan) yang dipakai untuk membuat karya seni rupa ini adalah bahan alam yang mudah ditemukan yaitu bambu. Dan bambu sendiri sangat lekat dalam keseharian dan kehidupan sosial dan religi masyarakat Bali. Singkat kata bambu mempunyai peran sentral dalam masyarakat Bali, dan bambu sendiri memiliki nilai filosofi tentang ”daya tahan dan kekuatan hidup”. Kita hampir tidak pernah menanam bambu, dia hidup secara natural dengan sendirinya di alam. Bahkan ketika semua batangnya ditebang dan hanya tersisa akarnya saja, maka kelak akar yang terongok tersebut akan tumbuh kembali menjadi batang bambu. Bambu adalah simbol kekuatan dan daya tahan sebuah proses kehidupan.

Archive Menanam Air, FBS Undiksha, 2014

Secara teknik projek seni instalasi menanam air ini, tidak memakai teknis kerja yang menjelimet justru sangat sederhana dan berasal dari kebiasaan atau tradisi kebudayaan (Bali). Kehidupan sosial budaya dalam sistem adat di Bali sudah sangat terbiasa dengan aktivitas mengolah bambu, mulai dari membuat plakat hingga berbagai macam anyaman. Jadi masyarakat Bali telah terbiasa dengan aktivitas menganyam bambu. Menyadari hal itu, Sudarna mengembangkan potensi budaya tersebut menjadi sebentuk projek seni, sembari memperbaiki kondisi alam yang kini kian tandus akibat ketamakan manusia dalam menguasai alam untuk kepentingannya. Persoalan habisnya pepohonan yang diakibatkan deforestasi hutan, kini telah menjadi isu dunia dalam menanggulangi pemanasan global.

Menanam Air ini sejatinya memliki dimensi ekologi yang tidak perihal ekologi alam, tetapi  juga ekologi sosial dan budaya bahkan juga religiositas yang berbasis nilai-nilai Hindu Bali. Ini adalah sebuah wujud kesadaran Tri Hita Karana, Pawongan, Pelemahan dan Pariangan, bahwa masyarakat Hindu Bali tidak hanya peduli pada kesejahteraan dirinya, tetapi juga menyadari bahwa dirinya tidak bisa dilepaskan dari makro ekologi yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi. Dimana kesadaran penghormatan pada tumbuhan yang dirayakan secara simbolik enam bulan sekali dalam upacara Tumpek Uduh (Pengatag). Bagi Sudarna nilai-nilai itu harus diejawantahkan dalam kesadaran diri dan dilaksanakan secara nyata, yaitu dalam wujud Menanam Pohon yang sejatinya adalah sebentuk upaya Menanam Air. 

Air suci sebagai elemen penting dalam sirkulasi kehidupan di muka bumi dan bahkan di dalam untaian kehidupan besar Komos yaitu Jagad Semesta Raya. Agama Hindu di Bali sendiri dikenal juga sebagai agama Tirta (air) karena itulah pertiraan ada dimana-mana di setiap Banjar, Desa Adat hingga petirtaan Jagat seperti Tirta Empul dan lainnya.   

Sanggulan Tabanan, Oktober 2014