Special Project #1: Side Eyes

Perupa muda Didin Jirot membuka ruang kreatif miliknya Dinatah Art House untuk publik dengan menggelar pameran "Special Project #1: Side Eyes", menampilkan karya dari 8 perupa lintas medium. Periode 20 Oktober - 12 November 2023, berlokasi di Dinatah Studio, Banjar Samu, Singapadu Kaler, Gianyar.

Tak pernah terlewat di benak ketika menyusuri sebuah pekarangan keluarga, kita akan menemui sebuah ruang pameran yang akan menyambut pengunjung yang datang dengan kesederhanaannya. Ukurannya memang tidak terlalu besar, namun ruangan tersebut akan tetap menyambut kita dengan kesederhanaan dan kemeriahannya. Ruangan ini adalah saksi rangkaian proses kreatif Kadek Didin, atau yang lebih dikenal dalam kancah seni rupa sebagai Didin Jirot.

Ruangan ini diberi nama Dinatah Art House, sebuah galeri sekaligus studio kecil milik perupa 3 dimensi kelahiran Gianyar tadi. Kata "Natah" diambil dari Bahasa Bali yang sederhananya berarti pekarangan rumah, dimana di dalamnya dapat terjadi pertemuan antara kehidupan sosial masyarakat, budaya, kreatifitas yang berpadu mencipta keharmonsian. Kilas balik, terciptanya Dinatah Studio berawal dari impian Didin yang memang ingin membangun ruangan tersendiri guna mendorong dan merangkul teman-teman yang memiliki kesamaan nafas seni kontemporer. Hingga, saat ia sudah menyelesaikan pendidikan sarjananya, Didin memutuskan untuk mengaktifasi ruangan miliknya. Sedikitnya ruangan untuk memamerkan karya, dan kurang adanya pergerakan dari teman-teman perupa, menumbuhkan kesadaran pada dirinya, hingga Ia mencoba untuk menggali alternatif lain, menciptakan suatu cara untuk dapat memetakan dan mengembangkan ekosistem seni rupa serta mengenalkan perupa-perupa muda Bali, dan melalui langkah ini Ia coba untuk menggerakkan teman-teman yang juga memiliki kesamaan akan tujuan hingga terselenggara pameran perdana Dinatah yang nantinya akan menjadi awal mula dari Special Project Dinatah Studio.

Dengan adanya ruangan ini, Didin mencoba memantik inisatif dari beberapa seniman muda Bali untuk berkarya dan mengembangkan konsep bersama, yang pada akhirnya berlabuh pada satu judul “Side Eyes.” Mengartikannya kedalam bahasa Indonesia kata ini berarti mata samping namun dapat bermakna jamak atau bisa juga diinterpretasikan sebagai melihat dari berbagai sudut pandang yang ada yang terlihat baik oleh mata maupun pikiran Kata Side Eyes muncul dari penggabungan beberapa pemikiran dan hal-hal yang mengakari terjadinya pameran ini. Kadang kala kita hanya menyaksikan suatu hal melalui pandangan yang ingin kita lihat yang tanpa sadar hal itu membatasi pergerakan pikiran. Hal-hal yang tak diketahui terkadang luput dari perhatian atau mungkin memang sengaja tidak dihiraukan karena kita hanya ingin menikmati apa yang pandangan ini suguhkan sehingga hal ini dapat membatasi langkah untuk melewati batas yang ada. Lantas bagaimana akhirnya jika kita bergerak untuk memperluasnya dan apa yang mungkin akan kita temukan?

Dokumentasi Pameran oleh Kadek Bagaskara

Memasuki ruangan pameran, pada satu titik terdapat sebuah karya dengan dominasi warna putih. Tampak berkilauan yang merupakan efek dari material pasir silica yang digunakan oleh Yusa Dirgantara. Jika dilihat, tampilan karya ini terlihat seperti potongan kue dengan beberapa variasi benda diatasnya, ada yang muncul dan ada pula yang terpendam. Lantas apa yang sebenarnya Yusa ingin sampaikan? Berawal dari kegiatan sederhana berkeliling pantai selama di Bali, mata Yusa tergelitik melihat beberapa tebaran sampah-sampah kecil di sepanjang bibir pantai. Hal sederhana itulah yang kemudian dituangkan dalam konsep berkarya Yusa. Seolah-olah pasir pantai itu dipotong dan diangkat, sehingga kita dapat melihat bagian yang tertanam di dalamnya. Dibalik indahnya pantai di Bali, masih tersembunyi sisi-sisi kecil yang mungkin saja luput dari mata kita. Jika ditelisik, secara tidak langsung Yusa juga menyuarakan suatu bentuk campaign peduli lingkungan melalui karya yang berjudul “Diantara Bagian-Bagian.” Penggunaan material pasir silica, sudah tampak jelas memberikan kesan pasir pantai yang menguatkan tampilan karyanya dengan tambahan efek kilau yang alami, seolah-olah seperti terpancar oleh sinar matahari. Penambahan tekstur bergelombang pada beberapa bagian sisi juga memperjelas pembacaan akan pasir pantai.

Bergeser pada karya Sukarya yang juga bercerita mengenai pantai dan laut, karya yang menampilkan objek ekosistem laut, seperti lumba-lumba, gurita, bintang laut, ikan-ikan kecil, dan beberapa tanaman laut. Karya yang diberi judul “Pantai Penyusuhan” mengukir kilas balik memori masa kecil Sukarya yang saat itu sering mencuri-curi waktu untuk mengunjungi pantai yang terletak di daerah Bulian ini. Tidak hanya itu, uniknya pantai Penyusuhan merupakan tempat terselenggarakannya upacara “ngemedalang” yaitu upacara yang diadakan setiap 5 tahun sekali dan melibatkan 3 desa (Desa Bulian, Desa Kubu Tambahan, dan Desa Bungkulan). Pada saat itu, masyarakat berbondong-bondong berjalan ke pantai Penyusuhan untuk melakukan pembersihan. Jika dilihat, secara tidak langsung tradisi ini membangun suatu simbiosis antara masyarakat dan alam untuk saling menjaga sehingga tercipta keharmonisan didalamnya. Memperhatikan karya Sukarya, terdapat satu hewan yang seolah-olah menjadi point dari karya ini, lumba-lumba. Hewan yang cukup sering ditemukan di pesisir utara Bali dan hewan ini juga kadang terlihat di daerah pantai Penyusuhan. Karya kulit yang mempresentasikan sebuah keindahan, tradisi dan rasa nostalgia yang terekam dari memori Sukarya dituangkan kedalam satu kesatuan karya tatahan di atas kulit sapi. Melalui pemajangan karyanya, dapat kita lihat bagaimana kelenturan dari kulit ini hingga dapat dibentuk sedemikian rupa.

Berlanjut pada karya Surya Subratha, karya yang diberi judul “Motion of Heart” menampilkan representasi dari bentuk hati yang berlapis. Dengan gaya lukisan yang khas dari Surya, Ia mencoba untuk menumpuk beberapa material spons hati menjadi satu dan dibentuk menyerupai objek-objek yang biasa dapat kita temukan dalam karyanya. Dapat kita perhatikan perubahan warna yang terjadi pada karya ini. Pada lapisan belakang, nampak warna biru dan ungu dengan tone warna cenderung gelap yang ditumpuk berulang hingga di akhir (pada bagian depan) menciptakan satu warna kuning. Karya Surya pada kali ini menggambarkan suatu proses transisi atau pergerakan dari rasa pada diri manusia yang mana warna biru dan ungu adalah simbolis dari peristiwa lampau yang telah dilalui. Hal tersebut terekam dan tersimpan sebagai memori yang membentuk perjalanan diri dan rasa. Masa-masa lampau ini juga bagian dari rasa yang seiring waktu akan terus berkembang, hingga membentuk lapisan warna yang paling cerah. Dalam karyanya divisualisasikan dengan warna kuning yang identik dengan harapan, kebahagiaan dan kehangatan. Serta titik yang menyerupai tetesan air yang bila kita kaitkan seperti tetes embun pagi yang memberi energi akan perubahan.

Karya “Eroded” atau jika diterjemahkan dalam bahasa memeliki arti terkikis menampilkan beberapa elemen visual. Berbeda dengan karya-karya 2 dimensi Piki yang selama ini kita ketahui, karya Eroded menampilkan suatu seni instalasi dengan material mentah (raw material) berupa dulang, cermin, baju yang robek dan beton. Sesuai dengan judulnya, Piki Suyersa ingin membawa wacana terkait dengan perubahan sosial dan identitas budaya yang seiring perubahan arus zaman semakin tergerus sedikit demi sedikit. Dulang dimaknai sebagai bentuk dari tradisi dan adat budaya yang mana ini merupakan warisan leluhur kita. Kemudian, baju yang robek menjadi kiasan sebagai pelindung dari warisan budaya tersebut. Lalu, pada bagian atas kita dapat melihat bentuk bulat terbuat dari material beton yang keras. Bentuk ini merupakan simbol dari modernisasi dan infrastruktur yang serba cepat. Pada bagian tengah, Piki menaruh sebuah cermin, cermin digambarkan sebagai media perenungan kepada diri sendiri. Seberapa penting perang kita sebagai makhluk hidup dalam memperlakukan warisan budaya. Secara tidak langsung, melalui karya Piki kita diajak untuk merefleksikan diri bahwa kita adalah pencipta sekaligus penghancur budaya sendiri dan mungkin juga itu dapat menjadi langkah awal untuk menuju kesadaran akan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi.

Pameran “Side Eyes” juga menampilkan karya dari 2 orang perupa perempuan. Coba kita tengok karya dengan dominasi warna biru, cipta tangan Penawati yang memanfaatkan material kain sisa. Pada karya ini, Penawati membawa dialog terkait eksotisme dalam budaya berkain yang juga menciptakan 2 sisi, yaitu pengembangan budaya dan kain sisa. Jika membicarakan terkait budaya, tentunya kain menjadi salah satu hal yang identik dan cukup sering ditemukan. Hal ini juga menghasilkan beberapa kondisi dan memperlihatkan sisi baik maupun buruk yang selalu berdampingan, salah satunya adalah limbah kain. Pada karya yang berjudul “Tergantung” Penawati memanfaatkan limbah potongan kain yang disatukan dalam satu bidang. Dengan paduan warna biru gelap dan terang, warna ini identik melambangkan ketenangan, kebebasan, serta kedinamisan. Melalui kain-kain yang terjalin Ia bereksprimen, bagaimana kondisi mengelola kain tersebut berdampak. Oleh karena itu, melalui karya ini Penawati seolah-olah memberikan kita pilihan untuk melihat hal-hal tersebut dari sudut pandang yang berbeda, sesuai dengan judulnya, dimana dapat dimaknai pandangan dan pemikiran kita tercipta tergantung dari sisi mana kita memandang kondisi tersebut. Bukan hanya sebagai material utama dalam berkarya, namun penggunaan kain sisa juga sebagai bentuk rasa peduli dirinya terhadap limbah-limbah busana dan penggunaannya sebagai material menjadi cara Penawati dalam menyikapi hal tersebut.

Pada dinding putih, tampak karya dengan bentuk abstrak dengan objek panjang berliku menyerupai sulur. Melalui karya ini dapat kita lihat cara pewarnaan yang khas dari Tiarama. Penggabungan beberapa warna-warna cerah yang abstrak, ia ambil dari hal-hal sederhana, seperti alam dan jalanan yang biasa Ia lewati, memberikan kesan hangat dan manis. Dalam karya ini, ia menggabungkan hasil penemuan kaca bekas dengan mempertahankan bentuk awalnya dan origami bunga buah karya adiknya saat bertemu di Medan, bulan September lalu. Tanah liat yang tersebar dalam karya ini juga merupakan pemberian kecil dari seorang temannya. Beberapa kolaborasi dari individu berbeda menumbuhkan suatu rasa koleftif dalam karya-karyanya, yang juga menjadi salah satu eksplorasi dalam proses berkarya Tiarama. Ia ingin mengekspresikan rasa-rasa hangat dari material yang cukup sering kita temui sehari-hari namun terlewat begitu saja. Karya yang diberi judul “Love Letter From Lil Sister” secara implisit menyampaikan perasaan yang terkoneksi dalam hubungan keluarga, melalui sulur-sulur yang seakan-akan menyambungkan dua buah objek dalam karya ini. Menurutnya, melalui karya ini Ia cukup dapat mengekspresikan rasa terhadap suatu hubungan. Penggambaran akan dirinya yang merantau ke Bali sehingga memberi jarak akan waktu dan tempat dengan keluarganya. Namun, hubungan yang hangat masih tetap tumbuh diantaranya. Hubungan yang seimbang, rapuh akan kejujuran, tidak mengendalikan dan membiarkan individu untuk berkembang dengan energi mereka sendiri juga adalah hubungan yang mewah yang tetap dapat terjadi bagi masing-masing individu.

Masih dengan eksplorasi benang dan kainnya, Gusti Kade juga membawa material serupa pada pameran ini. Berlatar belakang dari keluarganya yang merupakan seorang penjahit, melihat kain dan benang yang tersisa memberikan inspirasi baginya untuk mencoba berkarya menggunakan material ini. Seiring waktu, hal ini menimbulkan ketertarikan untuk mencoba belajar membuat pola pakaian dan semakin diulik Ia menemukan bahwa bentukbentuk ini juga dapat diaplikasikan dalam karyanya. Sehingga terlihat pada karya yang berjudul “Pangus” ini menampilkan bagian-bagian kain yang dipotong membentuk suatu pola acak dan disatukan menggunakan jahitan mesin. Pangus adalah kata yang berasal dari Bahasa Bali, jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia Pangus memiliki arti serasi, seirama dan cocok. Judul ini dipilih oleh Gusti Kade saat menentukan warna yang sesuai hingga ditemukan kombinasi warna merah muda, hijau, ungu dan oranye yang dipadukan dengan warna putih menciptakan keserasian dan kemanisan pada karyanya. Tone warna yang cerah memberi kesan playful dan bentuk-bentuknya terlihat seperti tetesan-tetesan cat diatas canvas. Pada bagian dalam, Ia menambahkan material spons, sehingga menciptakan efek yang padat namun terkesan lembut. Penggunaan benang dalam karyanya menjadi keidentikannya tersendiri dalam memperlakukan material ini. Melalui karya ini dapat kita lihat betapa kuat benang dapat menarik spons dan kain sehingga menciptakan kesan mengikat keseluruhan material, yang juga menimbulkan efek liku-liku pada bagian sisinya.

Berpindah pada bagian depan ruang pameran, berdiri tegak satu karya bermaterialkan kayu. Jika dilihat karya ini menyerupai plang yang biasa kita temukan di beberapa sudut jalanan Bali, atau pura. Karya dengan judul “Juxtaposed”, kata ini sendiri memiliki arti menempatkan, mensejajarkan atau membandingkan hal-hal yang berbeda untuk menunjukkan keberlawanan atau kemiripan. Menariknya pada bagian tengah, Nugi Ketut menambahkan objek sound system yang juga merupakan unsur pelengkap dari karya ini. Tanpa adanya bunyi pun, kita tahu bahwa sound menjadi representasi akan suara-suara yang keras dan cukup mengganggu. Membahas terkait billboard, poster dan sign board yang dapat kita temui di sepanjang jalanan Bali, yang mana elemen-elemen visual yang terkandung di dalamnya terkesan bising dan mengganggu, hal ini menjadikannya terlihat seperti sampah visual. Inilah hal yang dilihat dan dikritisi oleh Nugi pada karyanya yang memadukan material-material mentah dan tidak luput ilustrasi pada bagian tengah. Melihat figure perempuan pada ilustrasi karyanya, bisa jadi ini dapat dikaitkan sebagai simbolis akan daerah Bali, dimana disini juga biasa kita temukan perempuan-perempuan Bali menjinjing gebogan (banten tinggi) sebagai bentuk persembahan. Kembali pada kata Juxtaposed, Ia menunjukkan kesejajaran antara 2 atau lebih objek yang secara visual serupa namun terdapat perbedaan dari segi fungsi dan konten di dalamnya.

Jika kita melihat kembali kedalam pameran ini, karya-karya yang ditampilkan bukanlah kekaryaan 2 dimensi, melainkan lebih di dominasi dengan bidang 3 dimensi yang kemudian dimensi-dimensi ini dapat memunculkan sudut pandang berbeda bagi yang melihat dan yang menciptakan. Mulai dari melihat, menyentuh, serta membentuk material-material yang beragam hingga menghasilkan sisi-sisi berbeda. Melalui pameran ini juga mereka mencoba mengolah hal tersebut dan memperluas pandangan dalam menanggapi suatu hal.

Kembali lagi pada judul pameran ini, Side Eyes mungkin saja tidak hanya dapat dimaknai dari satu sisi. Bisa jadi ia juga dapat menciptakan makna-makna lainnya. Hal itu dapat berawal dari tujuan, sudut pandang, material dalam kekaryaan, mungkin juga dapat berupa cerita yang tersimpan di dalamnya atau bahkan cara pandang sang perupa dalam melihat suatu peristiwa. Namun, tidak hanya itu kita pun yang memposisikan diri sebagai penikmat seni, juga diikut sertakan kedalamnya. Ditantang untuk membuka mata dan melihat ke berbagai sisi yang ada, serta menstimulus otak untuk mencoba menelaah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi melalui sudut pandang yang berbeda. Jadi, apakah kamu juga dapat melihatnya?

Penulis 
Sekar Pradnyadari
⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp