No Boundaries
“Itulah perah di puncak rahasia yang dalam
Pendek kata, dalam hatimu Ia tak terbatas
Batas itu tak terbatas, ia penuh
Panahlah itu, akhirnya terpikirkan persatuan itu” - Dharma Sunya, bait 156.[i]
Jika bertanya siapa yang mencipta batas? Tentu jawabannya adalah manusia itu sendiri, lantas dalam tubuh manusia apa yang mencipta batas? Mengacu kepada Dharma Sunya adalah akumulasi dari bayu-kata-pikiran yang disebut sebagai pencipta realitas dalam kehidupan manusia sehingga jika ingin menghilangkan batas tersebut maka trilogi bayu-kata-pikiranlah yang harus di sadarkan dari ego yang telah ditarik keluar dari buddhi. Sebuah penyatuan sangat tidak akan mungkin terjadi apabila ego masih menguasai kesadaran, dengan kembali melihat ke dalam maka ruang kesadaran yang tidak terbatas itu yang akan ditemui.
Sangat menarik membicarakan tentang batas dan tentu saja banyak sekali terdapat batas, ada batas yang memang harus dipatuhi yang kemudian terlembaga sebagai sebuah norma ada juga batas yang harus dilampaui dalam konteks laku berkesenian. Mendebat batas dalam seni maka kita akan kembali lagi pada momentum kemunculan awal seni-seni avant garde, dalam narasi sejarahnya mereka yang menemui kebuntuan dalam batas kesenian yang terkultuskan pada rentang lini masa modernisme mengambil sikap, dianalogikan dengan sebuah perang maka para seniman mengusung semangat prajurit yang berposisi pada lini terdepan dari sebuah pasukan yang bertugas menerobos pertahanan musuh, mengobrak-ngabrik pertahanan musuh, istilah heorik avant garde pun disematkan kepada seniman yang menjadi pelopor pendobrak.
Saya mendapatkan beberapa kata kunci memaknai batas yang dimaksudkan yakni spiritualitas-seni-perang. Kata kunci pertama yaitu spiritualitas, masuk ke dalamnya maka akan banyak sekali batas-batas yang dibicarakan, tujuan akhirnya adalah pencapaian tertinggi yaitu kesadaran sejalan dengan itu adalah penyatuan, di dalam pandangan Zen disebut penyatuan diri dengan alam dalam pandangan Dharma Sunya penyatuan diri dengan keheningan. Seni meski tidak dicantumkan menjadi kebutuhan primer manusia sebagaimana sandang, pangan, papan bahkan seks, akan tetapi seni dicipta sekaligus menjadi penting pun sangat dibutuhkan untuk hadir di dalamnya, bisa saya tuliskan tujuannya adalah kepuasan batin. Perang sebagai kata kunci ketiga mengacu kepada suatu awal perubahan, catatan tentang perang sangat banyak dan efek darinya adalah perubahan, dapatlah kita banyangkan bagaimana perang dunia mampu merubah kebudayaan manusia akan tetapi lebih dari itu yang perlu di garis bawahi adalah bahwa perang tidak semata hanya fisik dan antara manusia. Perang yang lebih dekat dengan manusia adalah perang dalam dirinya sendiri, Cok Sawitri dalam Sutasomanya menuliskan “yang percaya perdamaian tanpa perang, tanpa kekerasan, tanpa duka lara, pastilah telah tersesat, sebab damai itu hanya ada dalam diri.”
Spiritualitas-seni-perang juga lebih mendekati lelaku dua perempuan perupa yang berada dalam payungan bendera Women Project sekaligus sebagai kata kunci yang saya pergunakan untuk jalan masuk ke dalam alur pemikiran mereka mengenai No Boundaries. Sederhananya, ada sebuah pernyataan yang menjadi awal dipergunakan istilah No Boundaries ini sebagai sebuah laku kesenian yang tanpa batasan ketika berkarya, bisa mengambil dari mana saja. Pernyataan ini tentu saja sangat multitafsir sebab No Boundaries sendiri adalah frasa yang tergolong wacana yang provokatif dan sekaligus memunculkan banyak pertanyaan, misalkan saja yang paling umum adalah batasan apa yang dipikirkan oleh mereka sehingga menetapkan diri mengusung semangat tanpa batasan? Atau jika memang tanpa batasan lantas mengapa karya-karya yang dihadirkan hanya sebatas lukisan?
Karya seni memang harus dinikmati melalui indra, lima indra manusia tepatnya. Ada mata untuk melihat, ada telinga untuk mendengar, ada indra peraba, ada lidah untuk mengecap rasa, dan hidung untuk penciuman. Kelima indra manusia ini selalu aktif bahkan dalam kondisi tidur meski dalam kondisi tersebut tubuh masuk ke dalam alam ketidaksadaran. Karya seni apabila hanya dinikmati dari indra manusia saja maka dengan cepat akan membentuk batasan terhadap pikiran, dengan sigap apabila berhadapan dengan suatu objek maka hal yang kita lihat melalui indra mata bernilai dualitas seperti baik dan buruk, bagus dan jelek, terlalu cerah terlalu gelap, dan lainnya, demikian juga dengan indiya lainnya. Penilaian akan dengan segera dapat ditentukan oleh indra yang kita miliki padahal baik Descartes maupun teks Dharma Sunya telah menyatakan bahwa indra dapat menipu, [ii]Descartes menganalogikan dispersia dari sebuah pensil yang dicelupkan ke dalam gelas berisi air, mata kita akan tertipu dengan ilusi pensil yang seolah bengkok, patah padahal pensil dalam keadaan normal. Dalam konteks Dharma Sunya, indra tidaklah berjumlah lima melainkan sepuluh indra manusia yaitu lima indra persepsi dan lima indra pelaksana, kesepuluh indirya tersebut dihasilkan oleh ego yang kemudian menciptakan ikatan-ikatan yang harus diatasi oleh manusia yang menginginkan kesadaran yang sempurna.
Otak manusia sejak dalam kandungan telah merekam segala bentuk pengalaman yang dilalui dan dirasakan, terlebih telah dipelajari yang disebut sebagai pengalaman kultural, pengalaman ini juga beririsan dengan pengalaman estetik yang dibawa kemanapun dan melalui itu kemudian manusia dapat menilai sesuatu keindahan berdasar pengalaman yang telah mereka dapatkan baik melalui berbagai literatur dan juga melalui pengalaman langsung. Ada baiknya bahwa untuk menikmati suatu karya seni kita mengarahkan fokus tidak hanya kepada sesuatu yang material sebab karya seni yang bersifat sangat subjektif akan mudah dinilai dari sisi fisik namun sukar dinalar rasa dengan melampaui fisik sekaligus menyelam ke dalamnya. Yang pertama adalah sisi spiritual di dalam seni, Duo Jegeg baik Ni Nyoman Sani dan Ni Wayan Sutariyani Adnyana menempatkan sisi spiritual dalam laku penciptaan lukisan mereka, yang kedua adalah baik Sani dan Sutariyani tidak menemukan perbedaan yang menjadi batas berkarya di dalam diri mereka satu sama lain, bahwa hidup telah menyintas perang batin yang begitu melelahkan dan untuk memenangkannya ditempuh melalui kesadaran akan laku kesenian, tiap goresan adalah doa, tiap warna adalah penyatuan. Dengan demikian ketika setiap karya yang tercipta lahir dari rahim si pencipta karya dengan Sang Pencipta manusia.
“Art as a message” sebagaimana dinyatakan oleh Sutariyani dilacak melalui karya-karyanya yang lebih banyak bercerita tentang doa, wanita, keluarga. figur dan wajah yang hadir melalui bidang-bidang kanvasnya sebagai media, ada semacam kekhusyukan tercermin dari lukisannya melalui lapisan-lapisan warna yang menumpuki garis dan merepetisi kembali pola yang sama dengan penekanan warna yang analogus, kombinasi-kombinasi semacam ini lebih menekankan harmonisasi warna dengan interval warna yang berdekatan, meski demikian pilihan warna yang juga sering dipergunakan melalui pola split komplementer dengan kuning, merah kekuningan dan biru. Karya Sutariyani memiliki penekanan garis yang lebih variatif tergantung dari pesan apa yang ingin disampaikan atau rasa apa yang sedang ingin dikomunikasikan antara dirinya dengan karyanya, ada garis yang teratur dengan pola lekukan sama, ada garis tegas yang mengalir menjadi kontur objek, bahkan dalam dua karya garis menjadi hilang digantikan dengan kesan garis yang dibentuk melalui paduan warna. Keseluruhan aspek rupa yang diketengahkan dapat dibaca sebagai suatu bentuk figurasi dan mengilustrasikan sebuah peristiwa sekaligus menyiratkan pesan.
Ni Nyoman Sani hadir melalui garis yang membentuk volume pada seri lukisan wajah, garis-garis yang dibuat ditumpuk berulang kali melalui penekanan warna yang juga analogus, umumnya warna yang dipergunakan lebih kepada warna yang bersifat hangat seperti merah jingga, jingga, dan kuning jingga. Ia menjelajah kekuatan garisnya dalam bidang yang besar, tipikal garis yang dipergunakan sani adalah rangkaian garis pendek dengan gradasi warna halus, intensitas garis nenunjukan kualitas kesabaran yang dilaluinya untuk menuntaskan sebuah karya. Garis yang hadir dalam karya Sani tidak bertujuan untuk mengisolasi objek melainkan membentuk plastisitas dan ruang terutama dalam lekukan-lekukan wajah, melihat karyanya kita akan dihadapkan pada sebuah lanskap wajah yang setiap guratan memiliki kisahnya. Selain garis, Sani memainkan juga tendensi simbol, bunga dan capung misalkan. Simbol tersebut disematkan pada wajah dan sejalan dengan itu bahwa ada relasi antara ekspresi wajah yang dihadirkan dengan simbol yang mendampingi. Lukisan seri wajah yang dibuat hampir memenuhi seluruh bidang kanvas menyisakan sangat sedikit ruang untuk latar belakangnya, dengan demikian komposisi wajah yang hadir terlihat statis dengan demikian fokus dari karya ini adalah anatomi wajah melalui penekanan pada bagian mata atas kekuatan garis yang membentuknya. Mata sejalan dengan pernyataan Sani dalam seri The Look bahwa “I want to hypnotize the audience by the look (eyes), if they knew the eyes made of hundreds or thousands of lines.”
Women Project yang menampilkan Duo Jegeg dengan tajuk No Boundaries mengajak kita untuk melihat ketiadaan cara pandang yang tunggal di dalam memaknai seni. Mengenai maksud dari “tanpa batasan berkarya, mengambil dari mana saja” dalam pembahasan awal boleh jadi sebagai sesuatu spirit untuk penyatuan diri terhadap apa yang kita percaya sebagai sebuah jalan penyatuan, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan manusia itu sendiri, kebebasan mengambil jalan hidup dalam laku berkesenian adalah salah satu bentuk pernyataan diri, “speak up as a woman the way you belive in.”
Pohmanis-Denpasar, 25 April 2022
Dewa Gede Purwita-Sukahet
[i] Mengenai Dharma Sunya lihat tulisan Ida Bagus Dharma Palguna dalam Dharma Sunya (2014). Mataram: Sadampaty Aksara.
[ii] Mengenai gagasan Rene Descartes lihat Brian Magee dalam The Story of Philosophy (2008). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.