Pameran Tunggal I Gede Sukarya "SKIN & SHADOW: A Visual Study of Buleleng Ornament Style"

Catatan Pengamatan oleh Vincent Chandra pada Program 'Rasidency' kerjasama Gurat Art Project x Ruang Antara Studio bersama perupa muda I Gede Sukarya

Pada kulit-kulit mentah yang belum tersamak, Sukarya membaca dirinya. Sesaat setelahnya, pangotok, beserta alat pahatnya berangsur-angsur dihunjamkan menembus kulit-kulit mentah itu hingga akhirnya menghasilkan jejak-jejak tatahan yang berbentuk dinamis, dengan alurnya yang terkesan bebas dan acak, nampak khas menyerupai ciri otentik langgam Bulelengan. Inilah pokok-pokok bahasan utama dalam pameran tunggal perupa I Gede Sukarya, yang berkeinginan untuk mengupas persoalan pilihan material dan medium dalam berkarya, membaca dan mempelajari langgam ukiran Buleleng yang menyangkut identitas dirinya, serta sebagai sebuah tawaran (baca: tantangan) dalam hal cara atau metode berkarya lewat sebuah program residensi sederhana bertajuk ‘Rasidency’, kolaborasi antara Gurat Art Project dengan Ruang Antara Studio (milik perupa I Wayan Suja).

Peristiwa pameran ini adalah salah satu luaran dari program Rasidency, yang menawarkan kesempatan kepada perupa-perupa muda (berbasis di) Bali untuk berproses dan mengembangkan gagasan kekaryaannya masing-masing melalui cara atau metode yang berbasis pada kerja-kerja riset visual, baik melalui proses diskusi dan bincang santai, kajian pustaka, hingga studi pada aspek visual, tema, maupun pada wacana yang tengah berkembang. Sebagai bagian dari praktik seni rupa hari ini, metode kerja ini dirasa perlu dikembangkan oleh para perupa karena seperti yang disampaikan oleh Dewa Purwita dalam artikel pendeknya (tahun 2019) soal terminologi seniman bahwa “persoalan seniman itu bukan dari apa yang ia tengah atau pernah ciptakan tapi pada apa yang ia temukan dan kembangkan.” Purwita kemudian mengutip pernyataan pemikir Graeme Sullivan bahwa “Artists Are Found, Not Made”.

Kata menemukan (found) yang dimaksud oleh Sullivan barangkali berbeda dengan pandangan para estetikawan periode Yunani Antik, dimana seniman telah rapi-rapi diikat dalam konsep tentang pakem sehingga seniman tidak lagi menduduki posisi sebagai ‘pencipta’ yang satu bangun dengan kredo ‘kebebasan bertindak’. Ketimbang pencipta, seniman di era tersebut lebih dihargai sebagai peniru atau imitator. Maka found dalam istilah Sullivan dikaitan pada konteks hari ini menurut saya boleh jadi lebih mengarah pada aktivitas ‘mencari dengan usaha-usaha kongkret’. Artinya idealnya seniman tidak hanya membuat, seniman juga berkesadaran, berusaha mengkaji, mengidentifikasi, ataupun riset baik pada aspek visual maupun konten karya, demikianlah seniman baru dapat menemukan apa yang ia cari.

 

Membaca Bulelengan, Membaca Diri

Program Rasidency yang dijalani oleh Sukarya sepanjang bulan Mei 2022 lalu di bale sakapat (gazebo) Ruang Antara Studio berupaya mengaplikasikan metode tersebut, meskipun dalam prosesnya tidak dapat sepenuhnya dijalankan se-terstruktur teori yang dirumuskan Sullivan. Memulai berproses di Ruang Antara Studio, Sukarya menggeledah perpustakaan mini Gurat Institute. Niatan awalnya adalah untuk mencari referensi baik tulisan maupun visual terkait ukiran dengan langgam Bulelengan (sebutan untuk gaya ukir khas Bali di pesisir utara)—yang kemudian menjadi gagasan personal yang bolak-balik ia ulik dan olah dalam program residensi ini. Sukarya juga banyak dibantu dalam hal referensi dan pemahaman tentang karakteristik gaya ukir Buleleng lewat diskusi dan juga temuan data-data visual yang merupakan hasil kerja pengarsipan dan pengkajian perupa dan penulis Dewa Gede Purwita (co-founder Gurat Institute). Diantara arsip-arsip yang telah dikumpulkan oleh Bli Dewa sejak tahun 2009-sekarang dalam project independennya yang ia beri nama ‘Nglesir Visual’, sebagian banyak merupakan dokumentasi arsitektur, patung, serta seni ukir bergaya Blelengan.

Selain melalui diskusi bersama teman-teman perupa, peneliti, dan penulis, Sukarya juga melakukan studi atau riset visual dengan mendatangi langsung beberapa situs dengan ukiran bergaya Buleleng yang ada di sekitar kampung halamannya, Desa Bulian, Buleleng—Sukarya pulang. Disana Sukarya kemudian mengklarifikasi langsung pemahamannya tentang langgam Bulelengan yang ia dapat dari hasil diskusi dengan menatap dan mengidentifikasi ragam hias yang kerap muncul dalam ukiran Bulelengan. Beberapa ciri otentik yang berhasil ia identifikasi yaitu umumnya ukuran daun lebih besar-besar, menonjolkan pola bun-bunan (tanaman merambat), cenderung menghindari komposisi simetris, alurnya dinamis, bebas, dan ekspresif sehingga menyerupai penampakan alam sesungguhnya, hampir jarang pula memperlihatkan bentuk util seperti ukiran yang tersebar pada arsitektur gaya Bali Selatan.

Satu ciri yang tidak kalah penting untuk di highlight apabila membicarakan karya seni ukir Buleleng selain ekspresivitas dan kehebatan teknis serta visi senimannya adalah jiwa usilnya, yang bagi saya menjadi elemen yang tidak kalah penting dalam menghidupkan taksu ukiran Bulelengan. Para masyarakat terutama seniman di Buleleng tampaknya memiliki idealisme atau pandangan yang berbeda soal kreativitas terlebih dalam hal seni ukir. Garapan-garapan masterpiece mereka seolah ingin bilang “Bleleng lah neee!, (Punya Buleleng ni!)”. Bisa jadi memang ada semacam spirit kebedaan dalam artian positif yang ingin dijaga dan ditunjukkan diantara para seniman di era tersebut.

Sebagai yang terlahir dan tumbuh besar di lingkungan Desa Bulian, barangkali Sukarya telah terbiasa melihat dan mengalami berbagai bentuk kesenian-kebudayaan yang ada disana. Semuanya terekam dan mengendap dalam memori visualnya, yang kemudian memberinya semacam DNA atau ‘dialek rupa’ yang khas, hanya dimiliki sekelompok perupa berlatar belakang atau berasal dari daerah yang sama, sebut saja semisal: gaya Kamasan, gaya Batuan, gaya Buleleng (Nagasepaha, Buleleng Timur dan Buleleng Barat), dan banyak lagi. Karena itu, secara bawah sadar langgam Bulelengan sebetulnya tidaklah lagi asing baginya. Hanya saja kesadaran serta keinginan untuk menggali dan menatap (melihat lebih dalam) kembali ukiran gaya Buleleng ini baru muncul ketika ia menyelesaikan studi S1-nya di ISI Denpasar, pada fase-fase dimana pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang diri biasanya kerap muncul. Maka kesadaran Sukarya mengangkat tema Bulelengan kedalam karya tatahan kulit ini selain merupakan bentuk apresiasinya pada akar kulturalnya serta kekayaan visual yang ada di Bali Utara ini ternyata juga mengandung dimensi pada persoalan identitas dirinya.

Setelah mendatangi beberapa pura di Buleleng termasuk yang ada di desa kelahirannya, Sukarya lalu membuat beberapa sketsa-sketsa sebagai studi pada temuan visualnya. Sketsa-sketsa itu kemudian direduksi, dipilih beberapa saja yang dirasa paling sesuai dengan ciri langgam Blelengan yang telah ia identifikasi lalu dipindahkan keatas lembaran kulit kering (cowhide; Belulang) untuk kemudian ditatah.  

Bagaimana kemudian temuan visual itu menjadi sumber inspirasi dan diadopsi kedalam bentuk tatahan dapat kita lihat semisal lewat karya “Bet #2”.Pada bagian pojok kiri atas karya dapat kita temui bahwa Sukarya tengah mencoba mengadopsi objek ukiran yang ia temui di sisi belakang jeroan Pura Dalem Bulian. Ukiran ini berbentuk dasar ‘belah ketupat’ sekilas seperti motif patra sari hanya saja pada bagian tengah bunga apabila dilihat dari perbandingan antara proporsi telinga yang lebih besar dari ruang alis dan hidung, serta bentuk rambutnya, maka dapat dianggap bahwa ukiran berbahan batu padas ini tengah menggambarkan wajah seorang anak kecil atau bayi laki-laki. Pada karya Sukarya, ukiran tersebut disederhakan kembali. Bagian wajah pada tengah bunga dihadirkan hanya lewat tatahan yang membentuk mata, hidung, dan mulut. Tidak serealistik ukiran aslinya yang terbuat dari bahan batu padas. (Penggubahan bentuk baik penyederhanaan maupun upaya deformasi juga tampak pada motif dedaunan, tumbuhan rambat, dan figur pada karya “Bet #1”, “Cecantikan”, “Paum”, “Matok”, dan seri-seri figur tunggalnya.)

Masih pada karya “Bet #2”, Sukarya juga banyak mengadopsi cara hadir ukiran lain yang ia temui di Pura Meduwe Karang. Jadi beberapa bentuk ukiran dari beberapa pura di Buleleng itu ia rangkai kedalam satu komposisi utuh. Lihat pada bagian bawah karya tadi, Sukarya menatah banyak bentuk hewan seperti ular dan monyet yang dibuat seolah-olah sedang mengintip dari balik motif don paye (pare). Menurut Sukarya, ini juga merupakan salah satu bentuk ‘keusilan’ yang tampak pada ukiran Buleleng. Karena itu pada awal proses berkaryanya ia banyak meminjam bahasa visual tersebut. Pada karya-karya selanjutnya upaya menghadirkan ‘keusilan’ itu berkembang menjadi bahasa personal Sukarya, perhatikan misalnya tatahan berbentuk seorang patih yang duduk gagah namun dengan lidah menjulur kebawah (lihat karya “Desa Linggih”), atau figur manusia dengan wajah yang kartunal sedang berkaraoke ria terlihat pada latar belakang karya yang menampilkan dua buah sound speaker dan microphone yang dipegangnya (lihat karya “I Botol”).

Karya-karya yang dipresentasikan dalam ruang Studio Gelombang ini merupakan salah satu goal atau luaran awal dari program Rasidency. Namun menurut hemat bersama, selain menampilkan karya di ruang pamer dianggap perlu juga untuk memberi kesempatan pada karya-karya Sukarya merasakan paripurnanya di lingkungan dimana ia dikerjakan. Maka menjelang akhir program Rasidency dibuatkanlah sebuah program pamungkas dengan label ‘Preview karya’ di tengah ruangan Ruang Antara Studio. Kemudian disulaplah salah satu sisi Ruang Antara Studio menjadi tempat pajang karya. Pada sisi tembok yang diselimuti kain selebar 5x3 meter itu tergantung kulit-kulit yang telah selesai ditatah menggunakan pahat. Semua disusun berurut mulai dari karya yang paling awal digarap hingga yang paling akhir digarap dalam format lanskap (memanjang ke samping). Fungsinya untuk mempresentasikan progress dan capaian Sukarya selama sebulan berproses.

Mengundang beberapa perupa, penulis, dan pencinta seni, acara preview karya Sukarya ini menampung banyak respon atau tanggapan baik yang berupa pertanyaan dan pernyataan kritis, maupun masukan-masukan pada aspek artistik, konten karya hingga penyajian karya. Sehingga selain melibatkan Sukarya sebagai subjek utama dalam program kolaboratif ini, Rasidency juga sangat terbuka pada hadirnya diskursus ataupun bentuk keterlibatan lain dari para audiens dan peran ‘aktor-aktor’ lainnya yang nantinya memantik ide dan gagasan kreatif lain untuk dikembangkan oleh seniman yang terlibat. Demikian kurang lebih proses Rasidency yang dijalani oleh Sukarya sejak 3 Mei hingga 31 Mei 2022 lalu.

 

 

Estetika Belulang

“Kulit memang memiliki kualitas estetiknya sendiri, warna gelap pada bayangan yang dihadirkan oleh kulit terkesan lebih ‘hidup’ dan memiliki level kedalaman yang berbeda ketimbang bayangan-bayangan pada objek padat lainnya. Karena itu pertunjukan wayang kulit juga memanfaatkan visual bayangan yang jatuh pada kelir.”

Begitu Nyoman Erawan memberikan pendapatnya soal karakteristik dan kekhasan kulit sebagai medium seni rupa dalam preview karya Sukarya di Ruang Antara Studio. Maka pada karya-karya yang dipamerkan oleh Sukarya, selain menjaga kesan alami medium kulit dengan tidak meninggalkan warna sintetis diatas permukaannya juga menonjolkan efek siluet atau bayangan yang dihasilkan oleh jejak-jejak tatahan. Ini adalah salah satu kekuatan utama medium kulit yang ingin di highlight oleh Sukarya. Pernyataan Nyoman Erawan soal karakter kulit dan dimensinya senada dengan yang disampaikan oleh Mang Enda—seniman wayang di Pupuan, Tabanan—saat diwawancarai oleh tim Gurat Institute. Menurut Mang Enda, Belulang atau kulit sapi telah membawa nilainya sendiri bahkan sejak sapi itu lahir, terutama pada aspek warna alami kulit sapi yang kemudian berpengaruh pada bagaimana ia akan difungsikan secara spiritual.

“…Warna nika kan sudah alami melekat pada sapi sebenarne kan ada sapi putih, sapi gading, ada selem batu uling lekad ye sapi lue warnane selem.. ked batisne selem ye, ada sampi bintangan care bulu rusa ketol-ketol kemudian juga ada sampi albino putih nika, ada sampi mati ngelah panak.. jadi nika bagus digunakan untuk wayang ruwatan, kemudian kerbau juga ada yang spesial seperti niki wenten ye kebo yos merana biasanya dipakai pada saat ngeteg linggih ditaruh di bawah bale peselang ketika Ida Bhetara Napa Pertiwi Belulang niki be anggone enjekan makanya ia special, kudang sulinggih kudang Brahma-Buda-Siwa kaden memupakarai, makanya ini spesial kenten… untuk yang paling sulit belum tyang temukan adalah sampi sander kilap pang matinya nika sander kilap, nah jenis kulit yang bagus untuk ritual ya nika..”

Kurang lebih begini artinya setelah diterjemahkan:

“…Warna ini kan sudah alami melekat pada sapi sebenarnya, ada sapi putih, sapi gading, ada ‘selem batu’ dari sejak lahir warna sapi betina itu gelap.. sampai ke kakinya juga gelap, ada sapi ‘bintangan’ bulunya seperti rusa berbintik-bintik, kemudian juga ada sapi albino atau putih, ada sapi yang mati karena melahirkan.. jadi ini bagus digunakan untuk wayang ruwatan, kemudian kerbau juga ada yang spesial seperti ‘kebo yos merana’ biasanya dipakai pada saat upacara ngeteg linggih  ditaruh di bawah bale peselang ketika Ida Batara ‘Napa Pertiwi’ Belulang ini yang dipakai nantinya makanya ia special, sudah berapa sulinggih, sudah berapa Brahma-Buda-Siwa yang sudah mengupacarai, makanya ini special, begitu… untuk yang paling sulit belum saya temukan adalah sapi ‘sander kilap’ yang matinya disambar petir, nah jenis kulit yang bagus untuk ritual ya itu..”

Demikian kulit dalam kultur Bali menempati posisi yang spesial, sebab juga diyakini mengandung dimensi filosofis yang sarat akan nilai spiritualitas tinggi maka ia menjadi elemen yang penting dalam ritual keagamaan Hindu Bali. Selain diterjemahkan dalam bentuk wayang kulit, para dalang, sangging, dan seniman-seniman di Bali juga banyak membuat karya seni berbahan dasar kulit lainnya seperti atribut-atribut pada barong, badong penari, topeng-topeng, dan lainnya yang setiap pembuatannya melalui proses panjang dan kompleks.

Tidak hanya sebagai medium berkarya, penyiapan material kulit juga tidak dilakukan sembarangan. Para artisan kulit memiliki etika khusus dalam menyiapkan material kulit, terutama apabila dipakai untuk keperluan ritual keagamaan. Seperti yang dijelaskan oleh Mang Enda, “merekapun biasanne tidak berani main-main karena kan berkaitan dengan ritual nak ye mase kene ilanne toh, ne kepercayaanne mase, patuh care nampah sampi putih tukang jagale sing bani mase yen sing sampi mula mati atau gelem..” (Merekapun (artisan) biasanya tidak berani main-main karena berkaitan dengan ritual, kalau tidak dia juga pasti akan kena dampak buruknya, ini kepercayaannya juga, sama seperti ketika menyembelih sapi putih tukang jagal tidak akan berani jika bukan memang sapi tersebut sudah mati atau sakit).

Perkenalan Sukarya dengan Belulang  atau kulit sapi berawal dari salah satu program magang dari kampus yang ia ikuti. Saat itu ia mendapat kesempatan belajar membuat wayang kulit di studio seorang seniman wayang di Puaya. Kesempatan belajar ini lalu menjadi titik berangkat Sukarya dalam memilih mengembangkan material kulit sebagai objek artistik dalam Tugas Akhirnya di ISI Denpasar sekitar tahun 2018. Selain karena alasan akademis, Sukarya juga merasakan sebuah kedekatan dengan medium kulit sapi atau lebih tepatnya sapi itu sendiri. Sukarya sendiri menyampaikan bahwa sapi adalah hewan yang sangat dimuliakan di desanya, Bulian, bahkan ada sebuah upacara tradisi yang harus dilalui oleh setiap anak laki-laki di Desa Bulian dan upacara tersebut melibatkan sapi sebagai sarana utamanya. Upacara itu diberi nama Aci Bulu Geles. Kurator Made Susanta pernah membahas dan menuliskan singkat tentang upacara ini dalam tulisan kuratorial pameran “Bulian” pada tahun 2009:

“Bulu Geles, sebuah upacara penghormatan kepada roh orang tua yang sudah meninggal. Orang Bulian seperti digariskan untuk membayar utang melalui upacara ini. Dua ekor sapi adalah utang kepada ibunya. Satu ekor sapi adalah utang kepada ayahnya. Dalam pelaksanaan ritual bulu geles ini sapi yang akan dikorbankan diikat terlebih dahulu, untuk kemudian ditusuk secara berulang-ulang hingga darah sang sapi menetes di atas tanah. Ini adalah bentuk persembahan tabuh rah terhadap para buta kala agar tidak menganggu jalannya ritual bulu geles ini. Ketika tubuh sang sapi dihujami pisau, maka masing-masing warga akan mengusap tubuh sang sapi yang terkapar sekarat dengan lemah lembut. Ada pembacaan terhadap realitas upacara ini, dalam keyakinan masyarakat Bulian, kematian sapi ini adalah cerminan pemuliaan roh dan kematian.”

Dengan demikian antara Belulang dan Bulelengan, antara pilihan medium dan gagasan, antara apa yang hendak dinyatakan dan pilihan bahasa ungkapnya, kedua aspek tersebut bersatupadu dan menjadi semacam kesadaran yang dipakai Sukarya untuk memaknai realitas identitasnya. Sukarya dengan segala kesadaran dan pemikirannya adalah satu bagian dari realitas seni rupa Bali kini. Dengan jiwa mudanya terus bergerak mengembara, cair, dan terbuka. Begitulah pengamatan dan pembacaan saya terhadap proses, karya-karya, dan Sukarya yang sekaligus adalah teman diskusi saya dalam program sederhana nan santai ini. Sebagaimana hakikat sebuah pembacaan, maka akan banyak yang terasa distorsif dan luput namun ya begitulah adanya. Pembacaan ini tidak bertujuan untuk menyempitkan tafsir. Lebih dari itu ia adalah penjelasan bagi diri saya sendiri. Ahayyyy!

Vincent Chandra, Batubulan, July 2022

 

 

⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp