Kolektif Seni Prasi "Oprasi" kembali menggelar pameran bersama di Sudana Gallery Ubud, sebagai serangkaian dalam perhelatan Ubud Writer & Reader Festival Bali tahun 2022. Pameran ini menampilkan 18 karya prasi dan 1 karya prasi kolektif yang dikerjakan oleh para sangging (perupa) muda asal Bali yang juga bergabung dalam kolektif Oprasi yang pertama kali dibentuk pada tahun 2018.
...
Sudah kelima kalinya komunitas atau kolektif seni prasi “O.prasi” tampil dalam sebuah pameran bersama. Komunitas yang terdiri dari para anak muda ini sedari tahun 2018 hingga kini konsisten menghadirkan karya prasi dengan segala kemungkinan pengembangannya sebagai pilihan media yang mereka presentasikan dalam medan sosial seni rupa di Bali. Melihat apa yang dihadirkan oleh komunitas ini, boleh jadi Oprasi adalah komunitas perupa muda Bali yang secara sadar membangun dan membawa konsep yang spesifik sebagai spirit yang membuat mereka secara sadar memperjuangkan eksistensi berkesenian mereka dalam sebuah kelompok. Kesadaran berkelompok hadir dari kesadaran pada pilihan media yang sama. Spirit yang menjadi kesadaran bersama itu adalah upaya mereka dalam menghayati dan mengeksplorasi segala kemungkinan dalam ranah seni prasi sebagai bentuk karya seni yang berakar dari ruang-ruang tradisi untuk dikembangkan dan dieksplorasi lebih jauh dalam dinamika seni rupa kontemporer.
Mengingat prasi adalah seni gambar yang tumbuh dalam ruang-ruang tradisi, khususnya tradisi kesustraan di Bali. Posisi seni prasi yang pada mulanya adalah ilustrasi atas teks-teks kesusastraan dan berbagai literatur tradisional Bali serta memakai material lontar sebagai material gambarnya.
Dalam pameran yang bertajuk Expanded Narative ini terbaca bagaimana kecenderungan pilihan metode artistik para anggota dari komunitas Oprasi dalam melakukan eksplorasi atas media prasi sebagai titik berangkat dalam berkarya. Persoalan karakter naratif dalam karya prasi tampaknya masih menjadi hal yang menjadi titik berangkat persoalan dari para anggota komunitas Oprasi. Sebagian para peserta menghadirkan aspek naratif yang digali dari kisah pewayangan, folklore, hingga sebagian lagi ke tema tema keseharian. Sebagian lagi memilih menghilangkan sama sekali aspek naratif ini menjadi karya-karya dengan figur atau objek tunggal hingga simbolik serta pengolahan pada aspek material daun lontar menjadi karya tiga dimensional.
Keberagaman eksplorasi mereka ketika coba dirunut ternyata diawali dengan pertanyaan-pertanyaan tentang upaya untuk mengembangkan atau bahkan membebaskan kekaryaan mereka dari aspek naratif ini. Sehingga dalam pameran ini terbaca ada dua term yang susungguhnya menguat yakni sifat naratif dari prasi dan bagaimana aspek itu diperluas (expanded). Dua term ini yang kemudian mereka pilih sebagai judul dari pameran ini.
Dalam pameran ini hadir pula satu kecenderungan model penciptaan karya secara kolaboratif. Sejak tahun 2021 mereka mencoba model berkarya secara bersama ini untuk menguatkan dan mempertegas kehadiran mereka sebagai sebuah kelompok. Bagaimana spirit komunalitas dapat terjaga ditengah individualitas masing-masing anggota. Ada tiga karya kolaboratif yang telah mereka hasilkan sepanjang 2021. Yang pertama adalah serangkaian karya instalasi yang mempresentasikan ihwal proses sebuah karya prasi. Bagaimana pengolahan daun rontal hingga menjadi lontar siap pakai hingga menjadi karya prasi.
Sedangkan karya kolaboratif jenis kedua adalah membuat dua rangkaian karya prasi yang disambung sedemikian rupa hingga mencapai panjang 250 cm dan panjang 400 cm. Dua karya tersebut menghadirkan karya ilustratif yang berangkat dari interpretasi mereka atas sebuah kisah atau cerita tertentu. Dalam pameran ini mereka menghadirkan salah satu dari dua karya kolaboratif tersebut, yakni sebuah karya yang berjudul ‘Kisah I Salarang’ yang menghabiskan puluhan lembar daun rotal yang dirangkai menjadi karya sepanjang 250cm. Karya tersebut menceritakan tentang legenda I Salarang yang berkembang di masyarakat suku Mandar Sulawesi yang menceritakan tentang hubungan antara Mandar dengan Bali.
Pada akhirnya setelah empat tahun kebersamaan mereka sebagai sebuah kelompok terlihat solidaritas sebagai kelompok yang semakin menguat dengan hadirnya karya-karya kolektif, serta fokus masing-masing anggota komunitas atas pilihan mereka dalam menghadirkan karya personal mulai terlihat. Dua hal yang menguat yakni persoalan narasi dan bagaimana perluasannya melalui metode berkarya, pilihan subject matter hingga bagaimana sebuah karya prasi ditampilkan adalah dua hal yang masih menjadi dua wilayah yang cukup menjadi pemantik bagi tiap-tiap personal di komunitas Oprasi. Dua hal ini jika disadari dan terus digali sesungguhnya menjadi modal untuk mereka mengembangkan gagasan-gagasan kekaryaan mereka kedepan serta arah kelompok ini kedepan.
Selain dari aspek penciptaan karya komunitas Oprasi ini tentu saja memiliki potensi untuk terbaca sebagai sebuah komunitas anak muda Bali yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari dan mengeksplorasi lebih jauh akar-akar tradisi mereka. Upaya ini tentu akan semakin terlihat dari upaya mereka yang terus intens menjalin kerjasama dan memupuk iklim diskusif dengan berbagai pihak tidak saja dari kalangan pelaku seni rupa khususnya seni prasi tapi dengan intens menjadi diskusi dengan kalangan periset juga penekun lontar dan sastra Bali. Karena berbicara prasi maka kita tidak bisa begitu saja lepas dari dua ranah ini yakni seni rupa dan sastra sebagai aspek historis tempat tumbuhnya karya-karya prasi yang tumbuh subur berbarengan dengan tumbuhnya taman-taman aksara dan sastra di lembaran-lembaran daun rontal. [G]