Perjalanan selalu menawarkan pertemuan baru. Pertemuan selalu menghadirkan ceritanya tersendiri. Pengalaman-pengalaman baru adalah hal yang paling dirasa dalam sebuah pertemuan, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan baru maupun individu-individu didalamnya. Jika kita percaya pada filosofi pendidikan yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru, maka setiap petualangan meninggalkan rumah ke berbagai tempat baru yang berbeda dengan lingkungan kita adalah sebuah proses mengalami berbagai hal-hal baru yang ditemui.
Hal ini juga sejalan dengan konsepsi pendidikan kontemporer dimana sumber belajar tersebar dimana saja dan bagaimana para pembelajar mampu menyerap dan menformulasi untuk bertemu diri mereka yang otentik. Pengalaman-pengalaman itu idealnya berdampak bagi bertambah lebarnya cakrawala berpikir yang menjadi bekal untuk menapaki berbagai petualangan-petualangan berikutnya serta pengalaman tentang bagaimana beradaptasi dengan suasana, lingkungan dan orang-orang yang ditemui selama berinteraksi di tempat yang baru.
Dalam konteks kesenirupaan khususnya dalam pengembangan kreatif para perupa muda berbagai perjalanan berkarya di lingkungan yang berbeda dengan kebiasaan mereka adalah sebuah pengalaman yang tentu saja berkontribusi bagi perkembangan kekaryaan mereka masing-masing. Inilah salah satu signifikasi dari sebuah program residensi bagi perupa muda yang sedang merintis kekariran mereka dalam medan sosial seni. Sebab selain piawai dalam aktivitas berkarya, perupa juga perlu sebuah aktivitas yang melibatkan interaksi dan pergumulan kreatif dengan berbagai pihak dan medan sosial seni tentu banyak pengalaman yang dapat dipetik dari proses itu.
Bertimbang pada hal tersebut Sangkring sebagai sebuah ruang dalam medan sosial seni rupa selalu membuka kesempatan terhadap berbagai kemungkinan terjadinya perjumpaan kreativitas dengan berbagai pihak serta menjadikan ruang tidak terhenti sebagai ruang presentasi yang mempertemukan karya seni dan penikmatnya tapi meluas pada berbagai kemungkinan termasuk sebagai ruang yang terbuka terhadap kolaborasi, ruang untuk tumbuh bersama termasuk bagi para perupa muda. Sebab dalam praktik kesenirupaan hari ini peran sebuah ruang maupun institusi seni rupa menjadi semakin berlapis. Salah satunya sebagai ruang interaksi dan berbagi pengetahuan baik antara sesama pelaku seni maupun antara pelaku seni dengan publik yang lebih luas.
I Gede Sukarya
Gusti Kade Kartika (Gus Ade)
Opening pameran Makunyit di Alas
Makunyit di Alas adalah pameran presentasi hasil program residensi yang diinisiasi oleh Sangkring dengan berkolaborasi bersama Gurat Institute sebuah lembaga seni rupa berbasis di Bali yang berdiri sejak awal tahun 2023. Program residensi ini berupa tawaran kepada dua perupa muda yang berbasis di Bali atas rekomendasi Gurat Institute untuk beresidensi di Sangkring selama tiga bulan. Dalam program yang pertama ini menghadirkan I Gede Sukarya dan Gusti Kade Kartika (Gus Ade) sebagai dua orang perupa dengan dua pilihan material yang berbeda. Gede Sukarya dengan eksplorasinya pada medium kulit dan Gus Ade yang mengeksplorasi medium benang sebagai basis kekaryaan mereka. Selama tiga bulan kedua perupa tidak hanya berkarya dalam artian berpindah studio dari Bali ke Yogyakarta melainkan ada berbagai aktivitas seperti bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah seniman, mengunjungi berbagai ruang dan mengamati aktivitas dan dinamika dalam medan sosial seni rupa Yogyakarta hingga mengunjungi berbagai situs-situs arkeologis di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Berbagai pengalaman dan petemuan tersebut menjadikan mereka memikirkan dan merenungkan lebih jauh tentang makna sebuah pertemuan. Apa yang mereka rasakan ketika berjumpa dengan situs-situs di Jawa Timur, atau informasi dan pengetahuan apa yang ingin mereka gali lebih jauh sebagai seniman visual dalam melihat hamparan artefak-artefak masa lampau tersebut dan sejauh mana mereka terinspirasi dalam karya masing-masing. Atau sejauh mana mereka mendapatkan inspirasi dan pengetahuan yang digali dari pelaku seni yang mereka temui dan ajak berbincang selama di Yogyakarta dan tentu saja berbagai lapisan-lapisan pemaknaan atas sebuah pertemuan.
Pameran ini berjudul “Makunyit Di Alas” sebagai sebuah ungkapan dalam tradisi berbahasa Bali (Bebladbadan) yang bermakna “bertemu”. Bladbadan adalah salah satu repetorium bahasa Bali yang di dalamnya terjadi transposisi makna dengan menggunakan perangkat emosif. Perangkat emosif yang digunakan dalam pemaknaan bladbadan adalah fonetik, leksikal, dan sintakis, yang didukung oleh kaidah-kaidah pembentukan kata dalam bahasa Bali. Dalam tradisi kebahasaan di Bali makna dari Makunyit Di Alas adalah bertemu. Makna ini merujuk pada kesamaan fonetik atau bunyi dari kunyit alas yang merujuk pada diksi temu (diksi dalam bahasa Bali yang merujuk pada jenis tumbuhan rimpang) dengan diksi temu yang dalam bahasa Bali juga bermakna berjumpa atau bertemu. Kesamaan bunyi fenotik dari kata temu yang merujuk pada jenis tumbuhan rimpang yang berkembang biak dengan akar yang menjalar di dalam tanah dan kata temu yang bermakna berjumpa ini menghasilkan makna yang jika ditafsir lebih jauh memiliki makna metaforik didalamnya. Tumbuhan rimpang memiliki karakter yang adaptif yang kuat.
Cara rimpang atau rizoma ini bertumbuh adalah dengan jalaran akar-akarnya, bahkan jika akar-akar ini dipotong dan ditanam dalam tanah yang berbeda pun akar tersebut tetap dapat bertumbuh dengan cepat. Selain menghadirkan dua orang perupa muda yang beresidensi pameran ini juga menghadirkan karya para perupa yang mereka temui dan ajak berbincang dalam proses residensi ini. Hal tersebut sebagai upaya untuk memaknai lebih jauh sebuah perjumpaan dan pertemuan-pertemuan mereka selama di Yogyakarta.[G]
Archive of Rumah Arsip Gurat Institute