Intepretasi Prabu Udayana Dalam Lukisan Ketut Budiana
Oleh Wayan Seriyoga Parta
Karya seni lukis tidak hanya menghadirkan sebuah ekspresi, tetapi juga merupakan representasi dari intepretasi dan persepsi seorang seniman terhadap fenomena alam, sosial, budaya dan fenomena lainnya. Termasuk narasi-narasi sejarah kebudayaan dan peradaban. Bahkan sebelum seni dinobatkan sebagai ekspresi dan menjadi hak otonom seorang seniman. Karya seni lukis telah mengemban sejumlah mandat, dalam hubungannya dengan konteks keagamaan atau kepercayaan. Seni lukis cukup lama diberi tugas untuk menerjemahkan narasi-narasi teks-teks suci guna menyiarkan nilai-nilai keimanan.
Adalah sebuah maha karya terpenting sepanjang masa yaitu sebuah momen ketika Michelangelo tahun 1500an didaulat untuk menghias Chapel Sistine di Vatikan kediaman resmi Paus. Dinding bangunan ini menjadi kanvas bagi Michelangelo untuk menafsirkan nilai-nilai dari ajaran Kritiani dalam intepretasi rupa. Selain membuat publik tercengang, karya Michelangelo juga menuai kritik pada masanya terutama karya terakhirnya pada altar “The Last Judgement”.
Terpaut seabad (tahun 1600an) setelah peristiwa Vatikan di belahan dunia yang berbeda tepatnya di Klungkung Bali, pelukis besar yang bergelar Sangging Modara juga diberi mandat untuk mengias Taman Gili dan Kertagosa oleh Raja Dewa Agung Jambe. Maka tertorehlah maha karya yang menjadi saksi kebesaran peradaban Bali dalam wujud seni lukis wayang Kamasan. Kedua fenomena tersebut bukan sekedar ilustrasi yang memiliki nilai kemiripan semata, tetapi benar-benar telah direlasikan. Tepatnya pada tahun 1996 pemerintah Kota Florence Italy pernah mengusulkan, menjalin sebuah hubungan dengan kota Semarapura Klungkung, untuk membuat proyek kota kembar yang berlandaskan kreativitas seni.
Dua peristiwa tadi memberikan sebuah pintu masuk untuk menghantarkan pembahasan, pada sebuah momen yang kini kembali terulang pada seniman kontemporer Bali I Ketut Budiana asal Padangtegal Ubud. Ketut Budiana diberi mandat untuk menerjemahkan narasi tentang Prabu Udayana, salah satu Raja besar dari masa Bali kuna dari Dinasti Warmadewa. Raja besar yang pernah memerintah Bali, dan saat pemerintahannya Bali menjalin hubungan erat dengan kerajaan Jawa Timur. Kisah perihal Udayana dan pemerintahannya belum begitu dikenal dengan baik oleh masyarakat luas, dan sumber-sumber tentang Udayana dan kerajaan Bali Kuna juga terbilang sangat minim.
Kebesaran Raja Udayana dan Dinasti Warmadewa selama ini dikenal hanya dari penggalan-penggalan narasi yang termaktub dalam prasasti-prasasti dan tinggalan-tinggalan arkeologi. Narasi-narasi yang selama ini terpecah-pecah dan bahkan terputus, atau narasi yang membisu dalam kesaksian batu padas dalam bentuk patung, Arca, relief, Candi dan Pura-pura, yang menyimpan jejak-jejak “genom meme” peradaban dinasti besar yang pernah memerintah jagad Bali.
Ketut Budiana merekonstruksi jejak-jejak narasi kebesaran tersebut dan diterjemahkan ke media kanvas berukuran memanjang 8339 X 140 Cm. Karya lukisan Budiana adalah sebentuk intepretasi terhadap narasi Prabu Udayana melalui bahasa rupanya yang khas. Alur cerita dalam lukisan ini meliputi: Kelahiran Udayana; Masa Pendidikan di Pesraman Goa-goa; Pergi ke Jawa Timur bertemu Calon Istri Mahendra Datta; Kembali ke Bali dan Dinobatkan Sebagai Raja; Menjalankan Pemerintahan; Menjalankan Wana Prasta dan Biksuka--Moksah.
Bahasa rupa yang dipakai Budiana memakai sistem narasi skuensial yang runut, namun tidak terlampau naratif, ia memakai konstruksi visual yang lebih intepretatif dalam menggambarkan narasi kehidupan Udayana. Secara keseluruhan yang dominan hadir adalah hamparan-hamparan bentangan alam (landscape), yang di dalamnya tersisipkan narasi-narasi yang lebih terasa puitik tinimbang naratif. Melihat lukisan nan panjang tersebut audiens diajak mengembara ke alam lampau, ke suasana serasa lebih mirip cuplikan-cuplikan mimpi yang dikemas sangat fantastik. Dengan penguasaan artistiknya yang khas Budiana mampu mengetengahkan narasi Udayana tidak hanya terhenti pada diorama-naratif, melalui kekuatan olah artistiknya audiens diajak berkelana kea lam “sur-real”.
Karya tersebut tidak berpretensi menghadirkan persepsi yang tunggal terhadap sebuah narasi, tetapi sebaliknya dengan kemampuan artistik dan kekuatan intepretasinya, pelukis merangkul audien untuk turut larut dalam ruang lapang nan imajinatif. Turut serta menafsir dan mengintepretasikan narasi perjalanan hidup prabu Udayana dan kebesarannya dalam memimpin kerajaan Bali, hingga menjadi bagian penting dalam kualisi besar kekuatan Jawa yang kemudian berjaya setelah era Sriwijaya. Dan menempatkan Bali berada dalam posisi penting dalam konstelasi lintas Negara-bangsa imperium besar Nusantara yang saling terhubung dalam lintas niaga dan peradaban dunia khususnya Asia.