I Ketut Muja kelahiran 1944, di banjar Mukti Singapadu Gianyar Bali, bapaknya almarhum I Made Doblogan adalah seorang undagi istilah ini dapat dipadankan dengan arsitek pada masa sekarang. Seorang undagi yang membuat bangunan tradisional Bali berdasarkan pada pakem yang terangkum dalam asta kosala kosali, yang memuat mengenai ukuran dan panduan mengenai pembagian tata ruang dan struktur bangunan Bali berdasarkan hitungan badan manusia (jari, tangan, kaki, kepala).
Darah seni yang mengalir dalam dirinya menggerakkan daya kreativitasnya untuk mengolah rasa dan imajinasi, sejak dari sekolah dasar ia telah tertarik untuk belajar membuat topeng pada seniman topeng yang merupakan tetangganya I Ketut Tangguh. Pembelajaran awal dalam hal seni topeng, memberinya dasar untuk mengembangan karakter wajah bagi karya-karyanya dikemudian hari. Setelah belajar membuat topeng Muja pun tergerak untuk belajar seni yang lain dari membuat Bade dan Lembu untuk prosesi Ngaben.
Pengalaman membuat Lembu mengugah minatnya untuk semakin serius dalam berlajar seni patung, pada tahun 1960-an ia memutuskan untuk belajar seni patung realis pada I Ketut Rondin seniman patung asal Penatih Badung Bali. Dengan menempuh jarak sekitar 7 km, dari rumahnya dengan bersepeda dengan penuh semangat ia belajar membuat patung ke Penatih, dan memang saat itu patung realis telah berkembang pesat di seputaran Denpasar terutama Belaluan, Sesetan, dan hingga daerah Penatih. Menginjak pertengahan tahun 60-an ketika peristiwa G-30S PKI meletus, Muja terpaksa harus berhenti belajar patung karena Ketut Rondin dituduh terlibat dalam gerakan tersebut dan dimasukan ke penjara.
Sejak saat itu, Muja kemudian memutuskan untuk mengembangkan seni patung dengan mengembangkan karakternya tersendiri di studionya (rumahnya), berbekal dasar-dasar yang telah dipelajarinya dari membuat topeng, lembu, dan seni patung realis. Karya awal yang dikerjakannya adalah patung Hanoman, yang digarapnya dengan bentuk realis berdasarkan imanjinasinya pada cerita tokoh yang mengemparkan jagat Alengka Pura dalam epos Ramayana. Hanoman yang dibuatnya bisa dikatakan keluar dari pakem yang telah menjadi konsensus penggambaran wujud hanoman dalam tradisi patung Bali yang ditransformasikan dari bentuk wayang.
Dituntun dengan kreativitas yang meluap-luap ia mengembangkan karakter hanoman yang wajahnya direkonstuksi dari penggabungan karakter kera, manusia dan singa. Tidak hanya pada wajah, Muja juga mengembangkan berbagai macam bulu hanoman yang ia temukan sendiri berdasarkan eksplorasi teknik pahatan, hingga mengharuskannya membuat bentuk peralatan (pahat) yang spesifik untuk mendukung imajinasinya. Patung Hanoman ia kerjakan semenjak tahun 1970-an, temuan karakter bentuk yang khas menjadikan hanoman hasil gubahannya memiliki identitas sendiri yang berbeda dari hanoman konvensional.
Setelah dikenal sebagai seniman yang memiliki keunikan dalam seni patung hanoman dan banyak pencinta seni meminati karyanya, sehingga banyak seri hanoman yang telah ia ciptakan. Lama-lama ia pun merasa jenuh dan tidak ingin hanya menjadi seniman spesialis hanoman saja, dan akhir tahun 1980an ia memutuskan untuk menyudahi sementara menciptakan patung hanoman. Keputusan itu sangat berani dan cukup beresiko, karena ia memutus rangkaian kreativitas yang telah memberikannya topangan bagi kehidupan ekonomi keluarga. Saat itu patung hanomannya sangat diminati terbilang cukup banyak permintaan terhadapnya, dan patung itu selalu berpindah tempat dari studionya ke ruang-ruang para pencinta seni. Lancarnya distribusi apresiasi karya bukanlah tujuan utama, baginya jauh lebih penting kekebasan dan kenyamanan dalam mengembangkan kreativitas seluas-luasnya.
Muja adalah sosok yang eksentrik, karena keberaniannya memutuskan untuk membuat eksplorasi karya baru, dan memilih berjualan bunga untuk membiayai kehidupan keluarganya. Cukup lama usaha berjualan bunga ia lakoni dengan istrinya, dan hal ini bukanlah sesuatu yang baru baginya karena aktivitas bertani khususnya bunga telah dilakoni sejak dari masa anak-anak. Pekerjaan bercocok tanam tidak membutuhkan waktu sehari penuh, setelah selesai menggarap lahan ia mempunyai banyak waktu untuk berkarya. Dengan berhenti menjual karya seni, eksplorasi karya barunya dapat ia kumpulkan, energi yang besar dengan penuh passion dalam rentang waktu enam tahun ia dapat menciptakan lebih dari empat puluh karya.
Hal hasil puluhan karyanya berhasil terkumpul, dan setelah lama diidam-idamkan pada tahun 1997 ia memberanikan diri menyelenggarakan pameran tunggal karya-karya terbarunya dengan mandiri. Semangat untuk menyelenggarakan sendiri pameran tunggal dirinya dengan menampilkan puluhan karya patung kayu bukanlah perkara sederhana, dan terbilang unik. Muja yang sepenuhnya belajar secara mandiri (otodidak) tidak mengenyam pendidikan seni secara akademis, memiliki kesadaran serta kemauan yang kuat mendedikasikannya hidupnya dalam seni patung. Untuk seniman mandiri sepertinya memiliki kesadaran eksistensial, merupakan hal unik dan menarik untuk dikaji lebih jauh. Perihal kesadaran eksistensial pada sosok seorang Muja, akan dikaji pada sub bab yang secara khusus menguraikan posisi dirinya dalam medan seni rupa Bali dan pengaruh kondisi medan tersebut pada perkembangan kreativitas dan kesadarannya sebagai seniman.
Keuletan dan niatan besar ditambah kengototan sebagai seniman penuh totalitas sudah tentu akan mendulang hasil, pameran tunggal pertamanya menuai apresiasi dari berbagai pihak. Pencinta seni yang sempat kecewa dengan keputusan Muja menghentikan eksplorasinya pada patung hanoman, pun terbayar dengan sajian baru yang lebih beragam menjanjikan nilai estetis. Kreasi baru itu pun disambut antusias dari pencinta seni, membuatnya semakin mantap menapaki jalur keseniman. Semenjak tahun 1998 ia menyudahi usaha sampingannya berjualan bunga, memutuskan untuk secara total hidup dijalan kesenian dan meyakini dapat menghidupi keluarganya dengan karya seni. Tekad itu ia buktikan dengan menghantarkan anak-anaknya hingga lulus dari perguruan tinggi dengan karyanya, dimana ada niat disitu ada jalan demikian keyakinannya. Kini tiga dari lima anak-anaknya dan ditambah satu menantunya, meneruskan jejak ayahnya mendedikasikan diri dan kahidupan mereka dalam balutan kreativitas seni rupa.
Api kreativitas yang luar biasa terus mengiringi gerak langkah kehidupan kesenimannya, pada tahun-tahun berikutnya karya-karyanya semakin matang secara seiring penguasaan teknik mengolah material kayu yang telah lama dijalani. Ia pun semakin berani mengembangkan langgam tersendiri dengan menggabungkan berbagai macam karakter ideom visual yang telah dipelajari dan menyerap perkembangan terkini. Berselang waktu lima tahun dari pameran tunggal pertamanya, pada tahun 2002, ia kembali mengeber karya-karya terbaru yang lebih ekspansif dalam eksplorasi media dan lebih tajam dalam mengarahkan gagasan yang merelasikan nilai estetis dengan nilai kontekstual. Dengan representasi yang gigantik dan menghadirkan makna yang kontemplatif.
Perkembangan karya-karyanya di tahun 2000-an yang lebih imajinatif mengabungkan karakter media kayu dengan respon bentuk-bentuk imajiner yang realistik, memunculkan wacana yang menyematkan capaian estetik itu sebagai karya dengan genre surealis. Wacana dihembuskan dalam ulasan media massa lokal itu memang cukup mampu menarik perhatian apresian terhadap karya-karya Muja. Tentunya masih harus dikaji lebih lanjut keterkaitan wacana surealistik dengan gagasan konseptual senimannya, sehingga dapat ditempatkan dalam kerangka estetis yang lebih proporsional. Pembahasan tentang tipologi estetis akan dibahas pada sub bab yang lain dalam kajian terhadap karya-karya Muja.
Karir keseniannya pun tidak hanya terbatas pada lingkup lokal dan nasional saja. Di tahun itu juga berselang beberapa bulan setelah diselenggarakannya pameran tunggal, ia didaulat untuk mengikuti workshop dalam rangka Simposium Seni Pahat Internasional di Daet Centrum Museum Lichstentein Jerman. Mendementrasikan keahliannya dalam memahat kayu dengan bentuk yang telah ditentukan bersanding dengan pemahat dari belahan dunia lainnya, beberapa karya-karya kemudian menjadi koleksi permanen di museum itu. Merupakan sebuah kebangaan tersendiri, kerja kerasnya puluhan tahun berbuah apresiasi internasional yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan.
Dalam perjalanan karirnya sebagai seniman patung, berbagai pameran seni rupa telah ia ikuti, baik di tingkat lokal (Bali), nasional dan tentunya internasional, apresiasi juga datang dari berbagai lapisan pencinta seni mulai dari pejabat pemerintahan, pengusaha maupun kolektor. Sejak tahun 1970an karyanya telah dikoleksi oleh pencinta seni dan mengisi koleksi museum privat kolektor nasional maupun internasional. Perjalanan karir kesenimanannya yang panjang juga telah diapresiasi oleh pemerintah Kota Gianyar yang menganugrahkan penghargaan seni “Wija Kusuma” pada tahun 2005.
Karya-karya Muja tidak hanya bersifat ekspresi invidual, di sela-sela waktunya ia juga kerap mengerjakan karya patung untuk kepentingan ritual. Ia tetap meluangkan waktunya buat ngayah membuat patung untuk kepentingan pura, baik berupa patung penghias pelataran pura maupun arca perwujudan dalam bentuk miniatur yang disucikan. Karya-karya patung tradisinya tersebar tidak hanya di daerahnya di Singapadu tapi juga berbagai wilayah Bali bahkan juga di luar Bali, tahun 2010 kolektor asal Belgia memintanya untuk membuat sebuah patung kayu gigantik untuk ditempatkan pada pura yang telah dibagunnya bagi umat Hindu di Belgia.
Artikel ini merupakan nukila Naskah Buku Ketut Muja yang tengah dipersiapkan penerbitannya hingga akhirnya penyakit kanker menyerangnya dipenghujung tahun 2014.