Bermain, manusia memang suka bermain dengan berbagai hal, bermain dengan aspek-aspek rupa sehingga melahirkan karya rupa. Bermain dengan gerak terlahir tarian, bermain dengan kata maka lahirlah puisi dan karya sastra. Bermain bermakna sebuah keseriusan, bukankah peradaban terlahir dari kecenderungan manusia bermain? Bahkan dalam konteks dunia anak-anak bermain tidak hanya kegiatan yang asal mencari kesenangan semata. Anak-anak dalam kegiatan bermainnya itu sesungguhnya tengah menjalani laku kehidupannya dalam mengenali dunia benda, dunia sosial, dan dunia lainnya sesuai dengan konteks pemahamannya sebagai anak-anak. Mereka memproduksi berbagai artefak, tata cara berinteraksi, bahkan bahasa tersendiri ketika belum bisa berbahasa sebagaimana halnya orang dewasa.
Setelah tumbuh dewasa, manusia tidak pernah berhenti bermain dan melaluinya ia memproduksi kebudayaan juga peradaban. Sebagaimana halnya para perupa yang tampil dalam pameran Homo Ludens di Bentara Budaya Bali, mereka tengah menunjukkan keseriusannya bermain dengan aspek rupa, bermain dengan simbol, bermain dengan konvensi-konvensi yang terkait dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Bermain dalam konteks ini menjadi sebuah pernyataan yang merepresentasikan sikap dan pandangan mereka dalam mempersepsi realitas, realitas seni rupa dan realitas dunia. Pandangan itu hadir dalam berbagai persepsi yang dibenamkan dalam olah rupa, melalui karya-karya itu hadir cara pengungkapan yang beragam dalam hal media dan medium.
Pameran Homo Ludens yang diselengarakan oleh Emmitan Galeri Surabaya kini telah memasuki tahun ke-4. Sebuah program rutin setiap tahun yang disiapkan dengan terkonsep dan alokasi waktu yang terbilang cukup lama. Dilengkapi dengan media publikasi berupa katalog dengan standar kualitas, serta pilihan seniman tidak selektif. Di sini hadir nama-nama besar yang eksistensinya telah teruji dalam seni rupa Indonesia dan internasional seperti Heri Dono, Entang Wiharso, Agus Suwage hingga generasi anyar seperti Valasara, Erik Pauhrizi.
Pemilihan para seniman dan karyanya mencerminkan visi kuratorial yang diusung, dalam hemat penulis dapat dimaknai merepresentasikan wajah seni rupa kontemporer (Indonesia) yang plural. Wajah seni rupa kontemporer yang multi fase, yang lahir dari pergumulan berbagai lapis ruang dan waktu seperti tercermin dalam representasi para perupanya. Pameran ini mengetengahkan wacana kontemporer yang tidak hanya lahir pada paruh waktu terakhir (katakalah sepuluh tahun terakhir), tapi sebuah wacana yang memiliki dimensi sejarah khususnya dalam konteks Indonesia. Kehadiran perupa seperti Mella Jarsma mencerminkan hal itu, dengan institusinya ruang seni Cemeti yang hadir sejak awal tahun 90-an dan terus eksis hingga saat ini merupakan salah satu penggerak perkembangan seni rupa kontemporer (Indonesia).
Wacana kontemporer yang tercermin dalam pameran ini, diramu oleh kurator Wahyudin dalam pembahasan yang bernas didukung referensi yang kuat. Dibarengi dengan komparasi referensi dari berbagai praksis dan pemikiran seni rupa kontemporer di ranah yang lebih luas (global). Seni rupa kontemporer memang sebuah wacana seksi dan sekaligus gagah selalu menarik untuk diperbincangkan dari berbagai perspektif, berbagai pendekatan serta berbagai kepentingan. Seni rupa kontemporer menjadi menarik dan mengundang berbagai polemik karena didasari oleh berbagai kepentingan (nilai), kepentingan pewacana (kurator), kepentingan galeri, kepentingan kolektor, kepentingan seniman, dan kepentingan publik secara luas.
Menyaksikan puluhan karya seni rupa berkualitas yang dihasilkan dari tangan-tangan perupa yang telah memiliki reputasi, walaupun terasa sedikit sesak dalam ruang pamer Bentara Budaya Bali yang berlokasi daerah Ketewel jl. Baypass Prof.IB. Mantra. Serasa diingatkan kembali bahwa berbagai kepentingan yang menyelimuti seni rupa (kontemporer) itu terbenamkan pada sebuah entitas yaitu karya seni. Di dalamnya semua kepentingan itu dipertautkan, ia menjadi simbol nilai estetik, simbol nilai status dan sekaligus juga menjadi bernilai “komoditi”. Sebagai komoditi yang sarat dengan permainan, karena pada dasarnya manusia memang homo ludens.
Karya seni rupa merupakan entitas yang terdiri dari material fisik (media) dan material non fisik (estetik), dari pergulatan yang kompleks dalam diri sang perupa. Melalui proses yang panjang dan berliku, sisi yang sebetulnya menarik ditelusuri karena pada proses itulah sesungguhnya juga terletak nilai estetis, karya yang dihasilkan hanyalah sebuah refleksi. Sebagaimana halnya refleksi yang dihadirkan terkadang bersifat terbatas dan hanya permukaan dari serangkaian proses dan prosesi yang tidak jarang disisipi dengan ritual-ritual yang unik, pada saat mereka berkarya.
Membicarakan perihal wacana, sesungguhnya proses kreatif penciptaan karya itu sendiri adalah sebuah wacana yang menarik dalam konstelasi seni rupa kontemporer. Di dalamnya dapat ditelurusi proses perupa dalam memahami dan mempersepsi berbagai persoalan yang melingkupi realitas kekinian mereka, berikutnya mengolahnya dalam rupa. Bukankah karya seni menjadi bernilai karena ada kandungan nilai dalam prosesnya itu? Karena di dalamnya ada berbagai permainan yang diramu secara apik oleh sang kreator, yang memilih bergerak dijalan artistik dan menjadikan karya seni sebagai refleksi untuk menyuarakan segala hal yang rasakan sebagai bagian dari realitas dunia.
Karya seni rupa menyumbang pada tumbuhnya refleksi yang mendalam terhadap berbagai persoalan, serta dapat menjadi semacam oase di tengah-tengah rimba raya berbagai citraan lainnya yang telah disisipi berbagai kepentingan di baliknya. Jadi kepentingan yang diemban dalam karya seni rupa semakin kompleks dan berimplikasi besar pada kesadaran manusia, dan peradabannya. Semua itu terlahir dari insting purba manusia sebagai makluk yang suka bermain (Homo Ludens).
Sumber Blog Pribadi Penulis: