Gusti Nyoman Lempad: Kekuatan Interpretasi Visual Seorang Maestro

Oleh Wayan Seriyoga Parta

I Gusti Nyoman Lempad adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, ia berasal dari Desa Bedulu tepatnya banjar Lebah dan diperkiran lahir sekitar tahun 1862. Bapaknya Gusti Mayukan adalah seorang sangging dan undagi tersohor di desanya, kemudian karena sesuatu hal hijrah dari Bedulu dan mengabdi ke Puri Ubud. Di Ubud inilah Lempad yang dikaruniai umur panjang hingga seratus belasan tahun, terus menyalakan daya kreativitasnya hingga menembus batas-batas eksplorasi visual.

Sebagai undagi dan sangging ia mahir membuat bangunan arsitektural Bali, juga membuat ukiran, relief dan patung. Persinggungannya dengan pelukis dan pematung dari Barat seiring dengan kelahiran organisasi seni rupa Pitamaha di Ubud tahun 1936, membawa daya kreativitas dengan kemahiran skill yang tinggi bersumber dari pakem-pakem tradisi, bersinergi dengan sebentuk model kreativitas representasional dan teknik yang “baru” yang datang dari luar. Interaksi inilah yang melahirkan sebuah geliat baru dalam sosok Lempad dan seni lukis Bali pada umumnya di daerah Gianyar khususnya Ubud, Batuan dan Denpasar.

Geliat kreativitas karyanya semakin berkembang, bentuk-bentuk wayang ditangannya bertransformasi menjadi lebih realistik. Dalam hal tematik ia kerap menampilkan interpretasi baru terhadap cerita legenda Mahabarata, Ramayana, Tantri, dan mitologi Hindu lainnya bahkan menyentuh tema-tema erotika. Lempad juga kerapkali mengangkat tema-tema dari aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Pengamat karya Lempad sering dibuat bertanya-tanya bahkan terdecak kagum melihat intepretasi visual terhadap cerita-cerita epos pewayangan, yang hadir menjadi versi yang berbeda dalam karyanya. Karyanya digali dari narasi epik pewayangan Bali, namun hadir dalam gubahan yang sangat imajinatif, hadir dalam versi baru yaitu versi Lempad yang berbeda dari versi umum oleh pelukis wayang Bali. Proses intepretasi tersebut melibatkan pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai filosofis dan hakekat yang terkandung dari maha karya kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabarata. Tanpa memahami nilai-nilai dan makna-makna di dalamnya mustahil seseorang Lempad dapat mengembangkan intepretasi visual yang imajinatif terhadap narasi besar tersebut. Kemampuan mengintepretasi cerita-cerita epik tersebut dipelajarinya dengan jalan mendengar (sruti), bukan dengan membaca, kemudian terelaborasi dengan kekuatan imajinasi yang luar biasa di dalam karyanya. Itulah keistimewaan seorang maestro garis Gusti Nyoman Lempad.

Karya Lempad menghadirkan ”visi baru” pada pola estetika seni lukis (gambar) tradisional Bali yang lahir dari sebuah kesadaran sang seniman. Yaitu seniman yang menyadari kekuatan dan potensi yang ada pada dirinya; berupa kemampuan skill, kemampuan imajinasi, serta kemampuan mengintepretasi nilai-nilai filosofis, sehingga gerak laku kreativitasnya menyimpan nilai-nilai filosofi. Hal teknis yang selama ini dianggap hanya proses biasa, menjadi proses penuh yang makna dalam laku kreatifnya. Maka dalam hemat penulis yang hebat dari karya Lempad sejatinya bukan terobosan pada hal tematik, dari tema pewayangan menjadi tema-tema keseharian.

Terobosan terbesar Lempad justru pada karya-karya dengan tematika pewayangan yang dikembangkan dalam tafsir visualnya yang khas. Tidak hanya realistis dari sisi bentuk, tetapi Lempad juga mengetengahkan visi realisnya sebagai manusia Bali.  Visi tersebut, dapat dilihat terutama dalam pengambaran tokoh-tokoh wayang perempuan yang semuanya digambarkan bertelanjang dada. Jika ditelisik dalam pakem penggambaran seni lukis wayang di Bali umumnya, ada pembedaan signifikan antara perempuan dari golongan strata atas dan  strata bawah (rakyat biasa). Golongan atas seperti: putri raja, permaisuri dan termasuk Dewi dalam seni lukis wayang Bali selalu digambarkan memakai kemben lilit hingga menutupi dada, sementara perempuan dari golongan rakyat biasa (penyeroan) digambarkan bertelanjang dada. Dalam karya Lempad semua tokoh perempuan ditampilkan sama, tidak memakai kemben hingga ke atas (telanjang dada), hal ini bisa jadi mencerminkan persepsinya sebagai manusia Bali di zaman itu yang sebagian besar para perempuannya tidak memakai pakaian atas.

Entah sejak kapan dan dengan alasan apa, pada wayang Bali terdapat perbedaan dalam hal cara berpakaian pada tokoh perempuannya. Namun jika memang wayang Bali diwariskan dari Jawa Timur khususnya dari Majapahit dan memang telah ditampilkan begitu sedari sananya. Kemungkinan memang telah masuk sebuah konsepsi etika yang diterapkan dalam seni visual wayang yang kemudian menjadi semacam pakem. Entah karena alasan apa juga, kemudian kreativitas seorang seniman desa seperti Lempad melampaui pakem tersebut. Apakah terpengaruh pandangan eksotis Barat yang menikmati kenaturalan manusia Bali saat itu? ataukah sebuah visi realistis seorang manusia sederhana yang mencoba mengetengahkan perspektifnya terhadap kenyataan realitas jamannya. Yang dalam konteks manusia Bali saat itu ketelanjangan dada para perempuannya tidak dimaknai sebagai sebuah keeksotisan bahkan keerotisan. Tapi justru sebuah kenaturalan budaya pada konteks zamannya.

Dalam untaian sejarah seni rupa telah membuktikan seorang seniman bukan hanya seorang manusia yang memiliki kepekaan artistik, tapi sejatinya juga manusia visioner yang dengan kekuatan imajinasinya mampu menghadirkan representasi-representasi yang tak lazim pada zamannya. Mereka membuat representasi visual yang tidak biasa dari kenyataan dan persepsi masyarakat pada zamannya. Terobosan kreativitas itu sejatinya ada di dalam diri setiap manusia, tapi konstruksi peradaaban dan kesadaran pengetahuanlah yang kemudian mendorong daya-daya tersebut pada pemaknaan yang berbeda-beda.  Seperti halnya daya kreativitas Lempad yang pada suatu kesempatan telah diapresiasi oleh sosok seniman besar Picasso, tapi Lempad meskipun kemudian terkonstruksi dalam sebuah gerakan estetik yang dianungi oleh semacam organisasi Pita Maha. Serta telah delapan dekade dikonstruksi sebagai sebuah gerakan estetik yang menjadikan seni rupa Bali memasuki era modern, dan sering diparalelkan dengan gelombang modernis dari Barat.

Tetapi konsepsi modern ala Barat, penulis kira bukan satu-satunya konsep yang harus disematkan untuk memaknai arus kreativitas yang berkembang pada kebudayaan agraris Bali terutama pada sosok Lempad. Apalagi secara serampangan tanpa mengenali karakter konteks sejarahnya. Kebudayaan Bali sendiri sudah sejak lama merupakan persilangan berbagai peradaban dan pengetahuan yang menyertainya, pengaruh India, Cina, Jawa dan kemudian Barat, terangkai dalam matrik kebudayaan yang kompleks namun juga melahirkan ekspresi dan representasi yang khas.

Lempad sejatinya, adalah sosok yang tumbuh dari kearifan Bali dan menjalani swadarma seorang sangging dan undagi. Representasi yang imajinatif dalam karyanya dibentuk dari berbagai persilangan persepsi yang lahir dari interaksinya dengan berbagai hal, termasuk interaksi dengan seniman dan orang Barat seperti Walter Sepies dan Bonnet. Namun ia tidak memposisikan diri sebagai seseorang individu-jenius-kreatif, laku berkesenian yang dijalaninya merupakan sebuah swadharma, para apresiatorlah yang kemudian ngadanin (merumuskan) kehidupan berkeseniannya yang penuh totalitas itu. Swadarma itu adalah menjalani kehidupan (karma) dalam balutan kreativitas, mengabdikan kemampuan kreatif itu untuk kepentingan masyarakat luas (ngayah). Melakukan swadarma (kewajiban) dengan tidak mengharapkan imbalan, dengan keyakinan bahwa hasil akan datang dengan sendirinya sesuai dengan karma itu sendiri.

Seniman Bali seperti Lempad tidak mengenal konsep diri yang individual, maka dari itu ia tidak pernah membubuhkan tanda tangan ataupun nama di dalam karyanya. Tapi karya-karyanya sendiri menunjukkan kekuatan intepretasi dan eksplorasi seorang pribadi yang memiliki karakter yang kuat. Kalaupun kemudian karya-karya Lempad berisikan nama, itu pun ditulis oleh anaknya Gusti Made Sumung dan istrinya serta anak perempuannya Gusti Putu Oka, karena Lempad sendiri tidak bisa menulis. Pembubuhan nama itu, adalah untuk kepentingan identifikasi identitas seniman atas permintaan para apresiator luar yang membeli karyanya sedari tahun 1930an.

Karya-karya lukisnya (gambar) yang sebagian besar dibuat di kertas, tetap menunjukkan pengetahuan ke-sangging-an dan ke-undagi-an. Ia yang terbiasa mengukir ornamen dan relief, menjadikan karyanya tak pernah lepas dari komposisi antara manusia dan hiasan. Motif sulur dari tanaman merambat dan pepohonan dikembangkan dari pepatran dan binatang (kekarangan) yang digarap sangat ornamentik, namun tetap memiliki karakter. Beberapa karakter raksasa yang dikembangkannya tidak akan jumpai pada pakem penggambaran wajah raksasa dalam pewayangan Bali. Bahkan nampak seperti karakter-karakter monster dalam seri film animasi dunia. Hal ini menunjukkan kepiawaian Lempad sebagai seorang sangging yang memiliki kepekaan artistik dalam mengembangkan karakter ornamentik, seperti kekarangan pada seni ukir Bali hingga melahirkan karakter-karakter baru yang sangat kreatif ditangan Lempad. Melalui eksplorasinya ini, sesungguhnya Lempad telah menyumbang banyak pada pengembangan karakter dalam langgam seni dekoratif Bali, namun sayang hampir tidak ada sangging dan undagi generasi berikutnya yang melihat warisan Lempad yang begitu bernilai ini.

Sebagai perancang bangunan (undagi) dan pembuat patung, kesadaran monumentalik memberikan ciri khusus pada karya lukisnya yang sangat mementingkan komposisi pragmentaris, daripada komposisi naratif holistik yang tercermin dalam komposisi seni lukis wayang ataupun seni lukis Ubud dan Batuan pada umumnya yang memenuhi bidang persegi. Sebagai pematung ia terbiasa membuat sebuah bentuk yang solid dan monolit, sebagai undagi ia memiliki kesadaran ruang yang kuat karena terbiasa dengan pembagian-pembagian komposisi struktur bangunan Bali. Pengetahuan tersebut mempengaruhi persepsi visualnya dalam membuat komposisi dalam karya lukisnya, yang di dalamnya tercermin kesadaran kuat akan ruang. Ruang (desa) di Bali diyakini tidak berdiri sendiri, tidak pernah dilepaskan dengan waktu (kala) dan kebiasaan (patra). Kedarana desa, kala dan patra itu juga lah yang kemungkinan kuat mempengaruhi kesadaran intepretatif Lempad, dalam menghadirkan representasi perempuan yang tanpa perbedaan dikotomis (strata) dalam karyanya.

 
*Tulisan ini disarikan dan dikembangkan dari Buku Lempad for the World, diterbitkan Dewangga House of Lempad tahun 2014, disusun oleh Gusti Putu Suteja, Ketut Budiana dan Wayan Seriyoga Parta merangkap sebagai editor, serta dibantu oleh Made Susanta Dwitanaya sebagai ko-penulis.


Tulisan ini telah  dimuat di Majalah Galeri Galnas Jakarta edisi 11 tahun 2014

⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp