Judul : Energi Kosmik, Biografi Estetik I Ketut Budiana
Pengarang : I Wayan Seriyoga Parta, I Made Susanta Dwitanaya
Ukuran : 22 cm x 30 cm
Tebal : 200 halaman
Cover : Soft cover
ISBN : Masih dalam proses
Ringkasan Buku
Buku ini mencoba menguraikan perjalanan hidup dan perjalanan kreativitas I Ketut Budiana, (latar belakang keluarga; lahir, keluarga, pendidikan, karir). Perjalanan dalam menapaki perjuangannya. Perjalanan kreativitas tersebut tidak hanya sebuah perjalanan biasa, tetapi adalah sebuah ritus tentang drama kegigihan seorang yang harus akan pengetahuan sejati. Kegigihan tersebut adalah sebuah ideologi, seorang sosok guru yang mengabdikan diri pada pengetahuan dan seorang seniman sejati yang tangan dan imajinasinya tak pernah terhenti untuk selalu mengeksplorasi capaian-capaian estetik.
Struktur penyusunannya berdasarkan konsep Catur Asrama, terdiri dari masa Brahmacari, masa Grehasta, masa Wanaprasta dan terakhir Bhiksuka. Pembahasannya menguraikan perjalanan kreativitas dan pencapaian nilai estetika karya, serta terobosan-terobosan yang telah dicapai oleh I Ketut Budiana, dalam rentang periode waktu perjalanan kekaryaannya sedari awal berkarya hingga saat ini.
Perkembangan individu tak pernah bisa lepas dari konteks sosial dan budaya yang melingkupinya, yang dalam kasanah kajian sosial disebut sebagai field (medan). Medan menjadi ruang pembelajaran, ruang eksistensi bagi individu, dan dalam medan itulah kita dapat melihat bagaimana individu dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Medan dalam pembahasan ini dikhususkan pada medan seni budaya, yaitu simpul-simpul kreativitas baik berupa ideofak, sosifak yang dibaca terutama dan artefak budaya visual yang melingkupi perjalanan kreativitas seni lukis I Ketut Budiana. Dalam buku ini akan mencoba menguraikan kehadiran perjalanan hidup dan perjalanan kreativitasnya menjalankan swadarma sebagai seniman Bali, hingga menemukan jati diri –estetika yang khas berlandaskan pada relegi dan teologi Hindu Bali. Sosok individu menjadi penting berada di tengah-tengah medan sosial dan dengan segenap potensinya ia menjalani eksistensi diri di dalam persilangan diri (individu, sosial) lainnya.
Buku ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama menguraikan biografi estetik Ketut Budiana yang dijabarkan melalui konsep Catur Asrama. Mulai dari brahmacari atau masa menuntut ilmu baik secara formal dan non formal, juga merupakan tonggak awal dalam pencairan artistik karya seni Budiana. Menempa diri dari pendidikan format di sekolah formal yaitu SSRI Denpasar, Perguruan Tinggi, dari keluarga dan kolega sesama seniman dari dalam dan luar negeri. Pembelajaran tersebut sejatinya tidak hanya berhenti pada masa brahmacari saja, tetapi sepanjang hidup ia masih merasa terus belajar dan memaknai nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut dengan sadar diendapkan dalam diri dan ditransformasikan ke dalam karya-karya yang diciptakannya.
Berikutnya Grehasta adalah jenjang menapaki kehidupan berkeluarga ditandai dengan hiruk pikuk kehidupan bermasyarakat. Dalam wilayah kreativitas berhimpitan dengan harsat yang begitu tinggi untuk mengejar eksistensi kehidupan, khususnya dalam hal material (arta) untuk mendukung kama (hasrat) demi kebahagiaan dunia. Menurut Budiana, hendaknya hasrat yang besar ini senantiasa harus didasari oleh kesadaran akan diri yang ada pada konsep kanda pat, dan senantiasa tidak dilepaskan dari ajaran dharma sehingga kebahagian dunia akhirnya dapat selaras dengan kebahagian akhirat (moksa). Nilai-nilai filosofi itu terbenam di dalam karya-karya simbolik seni lukis Bali, yang menjadi dasar bagi pengembangan karya-karyanya. Inilah proses ia menemukan konsep dan capaian estetika dalam karya-karyanya yang bersumber dari penghayatannya terhadap nilai-nilai kehidupan.
Selain berkarya untuk dirinya sendiri, Budiana tidak pernah putus dari pengabdiannya dalam ngayah untuk kepentingan masyarakat desa Adat dan agama Hindu di Bali. menjalankan tugas luhur sebagai seorang undagi, mengabdi untuk kepentingan adat dan religi Hindu Bali. Sebagai undagi Budiana kerap terlibat dalam kegiatan ngayah membuat sarana upacara Yadnya, seperti terlibat penuh dalam membuat Bade, Lembu, membangun pura, membuat patung di pura, membuat barong maupun juga topeng dan lainnya. Semua aktivitas tersebut dihayatinya sebagai swadarma bagian dari masyarakat Bali yang mengemban tugas ngayah, melalui potensi seni dan kreativitas yang dianugerahkan oleh semesta.
Tahap selanjutnya adalah wanaprasta, kehidupan manusia setelah khusuk dengan diri, keluarga, karir, harta dan tahta, tahap berikutnya harus kembali ke alam, yang sering diibaratkan dengan kembali ke hutan. Dengan kesadaran itulah nantinya manusia siap menjalani tahap terakhir kehidupan yaitu bhiksuka menuju pada kesadaran pelepasan diri menuju sumbernya. Segala sesuatunya berasal dari alam dan akan kembali pada alam. Tahapan tersebut dalam rangkaian ritus ini, adalah tahapan Budiana memilih untuk menyepi di dalam kesendiriannya untuk memaknai esensi kehidupan. Tahapan ini memang secara betul-betul dipersiapkan dengan mempersiapkan sebuah pondok kecil yang merupakan situs dan sekaligus studio di bilangan Ubud, di sebidang tanah warisan keluarnya.
Pada bagian kedua menjabarkan konsep kekaryaan Ketut Budiana yang berasal dari ajaran teologi Hindu Bali yang mendasari penggalian artistik hingga menemukan capaian estetik khas berlandaskan pada pijakan bahasa rupa Bali yaitu ornamen (pepatran, kekarangan dan keketusan), wayang dan rerajahan. Dengan elemen dasar tersebut kemudian dikembangkan menjadi karakteristik estetika khas dan menjadi identitas yang menandai eksplorasi karya Budiana.
Dalam ranah seni rupa modern-kontemporer, siapa yang meragukan lagi kiprah dan eksistensinya terlihat dari sekian banyaknya pengalaman pameran dan paktivitas seni rupa yang Ia telah lakukan sepanjang karier kesenimanya. Demikian juga dalam ranah seni yang bersifat komunal terkait dengan religi, adat dan tradisi taka da yang meragukan totalitasnya dalam hal ngayah mendharma baktikan dan mempertanggungjawabkan pilihan profesinya atau swagina-nya sebagai seniman. Inilah kesadaran akan swadarma yang menubuh pada lelaku dan perjalanan hidupnya menyusuri fase catur asrama dalam hidupnya.
[G]