12 Perupa SDI Bali di Pameran 12, Sika Gallery

Esai pengantar pameran oleh Made Susanta Dwitanaya, kurator dan peneliti seni rupa. Pameran 12 berlangsung di Sika Gallery - Ubud Bali, 12 Desember 2023 - 12 Januari 2024.

Tepat tiga hari lagi (setelah pameran ini dibuka pada 12 Desember 2023), lima puluh dua tahun yang lalu pada tanggal 15 Desember 1970 sejarah itu dimulai. Sebuah tempat yang bernama KPB (Keluarga Putra Bali) atau yang dikenal sebagai Balai Banjar Saraswati di Kawasan Baciro Yogyakarta menjadi saksi tempat Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Gede Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Arsana berkumpul lalu bermufakat untuk membentuk wadah bersama sebagai sesama perupa Bali perantau yang sedang menempuh studi di STSI/ASRI (kini ISI Yogyakarta). Sanggar Dewata Indonesia (SDI), begitulah nama yang mereka sematkan untuk “rumah” kreativitas mereka sebagai sesama perupa perantau di Yogyakarta.

Waktu kian melaju, sejak berdiri setengah abad yang lalu SDI lalu kian bertumbuh seturut minat yang tak pernah surut dari anak-anak muda Bali untuk merantau menimba ilmu kesenirupaan di Yogyakarta. Pertumbuhan SDI yang beriringan dengan berbagai dinamika yang telah dilalui komunitas ini dengan anggota puluhan perupa hingga kini. Berbagai lapis generasi hadir memberi warna, dinamika serta pergulatan artistik hingga dinamika pemikiran dan nilai yang terkonfigurasi dalam perjalan SDI. Dalam pergerakan artistik misalnya SDI generasi awal (dekade 70 hingga 80an) tampil dengan pergerakan artistik yang berpijak pada pengolahan ikon, simbol dan tanda dalam budaya visual Bali melalui metode visual abstraksi (modernis/akademik). Lalu kecenderungan gubah rupa abstrak ekspresionistik yang menyeruak pada generasi 90an, hingga pendekatan rupa representasional yang menunjukkan gelaja pluralitas gagasan artistik, hingga pengolahan medium pada generasi 2000an seiring dengan perkembangan seni rupa kontemporer. Hal tersebut adalah berbagai dinamika artistik yang terjadi pada tiap-tiap individu di dalamnya yang kemudian menjadi identik dalam perjalanan SDI dalam setengah abad lebih perjalanannya.

Suasana Opening Pameran 12, Sika Gallery

Selain mengalami dinamika dan perubahan demi perubahan artistik yang menjadi karakter pada tiap generasi, secara kelembagaan internal pun SDI mengalami dinamika sendiri misalnya persoalan-perubahan pola dan struktur keorganisasian seiring dengan sebagian eksponen SDI yang memilih menetap di Yogyakarta dan sebagian lagi pulang ke Bali berimplikasi pada adanya dua struktur keorganisasian dalam tubuh SDI yakni SDI Yogyakarta dan SDI Bali. Sehingga SDI berada dalam dua medan sosial seni rupa Indonesia yakni Bali dan Yogyakarta yang tentu saja memiliki dinamikanya masing-masing. Namun sebagai sebuah komunitas seni yang berangkat dari aspek primordial ke-Bali-an ada satu spirit yang tetap terpelihara dalam tubuh SDI yakni semangat pengorganisasian yang dijiwai oleh spirit komunalitas atau yang dalam istilah SDI identik dengan pola bebanjaran yang mengedepankan semangat guyub dan kebersamaan dengan dengan segala dinamika dan tantangan didalamnya.

Kehadiran 12 perupa SDI dalam program Pameran 12 sebagai program annual dari SIKA Gallery ini dapat menjadi salah satu momentum untuk melihat dinamika artistik, gagasan serta konsep berkesenian para anggota SDI Bali yang berpameran. Walaupun tidak menghadirkan keseluruhan anggota SDI dalam satu ruang pameran ke-12 perupa yang hadir dalam pameran ini setidaknya menunjukkan keterwakilan atas tiap-tiap generasi yang ada dalam SDI terutama dari generasi 90an-2000an. Pameran yang menampilkan 12 perupa SDI Bali ini diinisiasi oleh kolaborasi Made Aswino Aji selaku director SIKA Gallery dan Made Palguna selaku representasi dari kepengurusan SDI Bali saat ini.

Karya Agus Medianaputra, Pameran 12, Sika Gallery

Apa yang hendak dihadirkan dalam pameran ini sebagaimana gagasan yang disampaikan oleh Made Aswino Aji sebagai upaya untuk menampilkan karakter tiap-tiap individu perupa SDI yang didalamnya terdapat lapisan generasi serta secara konten kekaryaan didalamnya terdapat dialog antara perupa dengan rekam jejak nilai masa lalu, seperti adat, budaya, sejarah serta dinamika kebudayaan bali hari ini yang meliputi perubahan sosial, politik, perkembangan teknologi dan cara hidup yang teralami saat ini.

Gagasan yang ditawarkan dalam Program Pameran 12 dengan mengundang 12 perupa SDI ini dapat terbaca sebagai sebuah cara untuk melihat bagaimana melihat cara pandang, gagasan serta artistik yang ditawarkan oleh 12 perupa SDI hari ini dalam memaknai diri mereka sebagai subjek dalam dinamika peradaban Bali hari ini. Maka kita sesungguhnya sedang melihat bagaimana Agus Mediana, Dalbo Suarimbawa, Gede Suanda Sayur, I Wayan Gede Budayana, Kadek Agus Ardika, Ketut Suwidiarta, Made Gede Putra, Made Sumadiyasa, Nengah Sujena, Putu Winata, Wayan Danu, dan Wayan Legianta sebagai perupa Bali hari ini dalam memaknai posisi diri mereka sebagai bagian dan subjek aktif dalam kebudayaan Bali hari ini dalam gubahan visual yang telah digeluti masing-masing.

Menelisik tiap visual serta gagasan yang melatarbelakangi ke-12 karya perupa yang dihadirkan dalam pameran ini kita juga dapat melihat bagaimana perkembangan dan eksplorasi visual mutakhir yang ditampilkan oleh para perupa. Keberagaman tematik yang diminati perupa menyeruak pada pameran ini, apa yang dihadirkan dalam pilihan tematik memperlihatkan bagaimana problematika yang dihadapi mereka sebagai individu yang hidup dalam berbagai dinamika keseharian yang dihadapi saat ini.

Menjadi subjek dalam kebudayaan Bali hari ini ditengah irisan modernitas sebagai individu dengan kedekatan dengan komunalitas adat dalam ruang sosial menjadi fokus gagasan sebagian perupa dalam pameran ini dengan cara ungkap dan cara pandang gagasan pribadi sebagai perupa. Para perupa yang memiliki fokus gagasan pada persoalan ini dalam pameran ini nampaknya menunjukkan dua model dalam mengungkapkan buah buah pikir, kesadaran dan cara pandang mereka dalam menempatkan Bali sebagai pokok persoalan kekaryaan mereka. Ada yang menempatkannya sebagai pokok persoalan visual dan ada pula yang menjadikannya titik berangkat ataupun titik kesadaran.

Mereka yang menempatkan Bali sebagai pokok persoalan dan menghadirkanya secara representatif melalui visual misalnya nampak pada karya Ketut Suwidiarta yang dalam beberapa tahun terakhir intens mengolah aneka rupa budaya visual tradisi dalam karyanya yang dipertemukan dengan ikon dan tanda dari kebudayaan global. Pada pameran ini Suwidiarta menghadirkan penghayatannya atas visual bayang yang sarat akan filosofis sebagai refleksi kehidupan sebagaimana budaya visual wayang dalam kebudayaan Bali. Suwidiarta menampilkan figure wayang dalam siluet atau blocking warna dipadukan dengan tanda yang kerap kita jumpai dalam kebudayaan hari ini.

Karya Ketut Suwidiarta, Pameran 12, Sika Gallery

Kehidupan keseharian masyarakat Bali hari ini ditengah modernitas, turisme, serta masih dijalankannya aktivitas adat, ritual, dan aspek tradisi lainya menjadi pokok persoalan dalam karya Gede Suanda “Sayur”. Sayur menggambarkan berbagai aktivitas masyarakat Bali di tengah menjalankan adat ritual dan kegiatan budaya tradisi berbaur dengan para wisatawan asing yang datang berwisata ke Bali, anak-anak sebagai representasi masa kini dan masa depan Bali tampak asik bermain barong-barongan sembari berpakaian superhero dalam kebudayaan pop inilah cara yang ditempuh Sayur untuk menggambarkan dinamika sosial budaya hari ini.

Sedangkan perupa Kadek Ardika, Wayan Legianta, dan Agus Mediana memilih menempatkan penghayatan dan kesadarannya menjadikan keseharian sebagai subjek kebudayaan Bali sebagai nilai dan kesadaran yang menggerakkan eksplorasi visualnya pada model visual yang non-representasional bahkan abstrak. Bali menjadi titik berangkat atau istilah mereka sebagai spirit yang mengerakkan gagasan kekaryaan mereka. Kadek Ardika misalnya menempatkan kesadaran dalam memaknai aktivitas adat, ritual tradisi yang teralami sehari-hari di Bali sebagai cara untuk menghayati keyakinan, dengan gagasan yang paradoks Ardika melihat bahwa segala rutinitas yang dijalankan masyarakat Bali baik dalam beritual, membagi waktu untuk larut dalam kegiatan adat dan sosial jika dilihat dari kacamata modernitas yang cenderung lebih pragmatis dan “mendewakan” efisiensi akan dianggap sebuah kesia-siaan. Namun Ardika melihatnya dengan cara yang berbeda dalam kesan Kesia-siaan itulah terdapat esensi tentang keyakinan dan spiritualitas. Gagasannya tersebut dihadirkan dengan karya abstrak yang menampilkan garis-garis serupa torehan diatas dua panel berwarna abu-abu.

Sedangkan Wayan Legianta sejak beberapa tahun terakhir intens dengan karya-karya abstrak berbahan rubber. Karya Legianta tampak serupa hamparan warna-warna yang hadir dari tumpukan lapis demi lapis cat bercampur rubber yang dikerok kembali. Metode Legianta dalam menghadirkan karya ini baginya didapat dari kesadaran tentang penggalian diri sebagai bagian dari masyarakat. Ia menganalogikan dirinya sebagaimana karyanya yang dikontruksi dari aneka rupa lapisan warna yang saling tumpang tindih melebur menyatu dalam komunalitas namun dari kesadaran melebur itu ia menemukan dirinya sebagai manusia yang utuh.

Lain pula halnya dengan Agus Mediana, ia sejak dua tahun terakhir tampak khusyuk dan tertarik mengamati elemen-elemen visual yang ada dalam ritual. Elemen-elemen visual tersebut dalam masyarakat Bali disebut dengan Banten. Ketertarikan Agus didorong oleh keingintahuannya dan cara pandangnya dalam melihat sisi sisi pengetahuan yang tersemat dalam berbagai ritual dan tradisi yang ia lakoni sebagai bagian dari masyarakat Bali. Keingintahuan Agus mulai dari aspek visual hingga pada nilai simbolik yang terkandung didalamnya. Ia mulai dengan cara-cara yang paling empirik yakni dengan pengamatan indrawi sebagai jalan untuk melihatnya secara lebih substansial. Layaknya seorang ilmuwan dalam sebuah laboratorium, ia terobsesi untuk men-zoom in aneka rupa visual dalam ritual tersebut dengan piranti teknologi mikroskop untuk mendapatkan pengalaman visual yang berbeda dan membangun perasaan yang lebih dekat. Hasil dari metode kerja semacam ini adalah hadirnya visual-visual abstrak dalam karya-karya Agus. Abstrak yang terlahir bukan dari kesadaran formalisme melainkan justru dari reprentasi dan simbolik.

Sebagai bagian dari bumi yang tengah dilanda modernitas persoalan-persoalan modernitas seperti ancaman terhadap ekologi hingga bayang-bayang distopia atau kehancuran di masa depan juga menjadi isu yang hadir pada sebagaian karya-karya peserta dalam pameran 12 ini. Made Sumadiyasa salah satu perupa dari generasi 90an SDI dikenal dengan karya-karyanya yang cenderung mengarah pada abstrak ekspresionis. Dalam pameran kali ini Sumadiyasa hadir dengan karya abtraksinya atas representasi paru-paru dan jantung. Ia menganalogikan alam sebagai tubuh manusia. Maka hutan adalah paru-parunya dan organ vital yang ada di alam melalui abstraksi atas ikon paru-paru yang dihadirkan dengan sapuan-sapuan ekspresif serta warna-warna yang merepresentasikan alam Sumadiyasa menghadirkan seruan kesadaran untuk merawat hutan dan lingkungan ditengah bencana ekologi yang membayangi.

Sedangkan pada karya Dalbo Suarimbawa, ia menampilkan karya yang berangkat dari isu pelestarian burung dan habitatnya di alam. Melalui karya lukisan diatas kanvas dan karya diatas plat Dalbo mengungkapkan kegelisahannya tentang urgensi pelestarian burung ditengah gempuran dan ancaman kerusakan ekologis yang terjadi berkurangnya habitat alam dan perburuan liar menjadi penyebab terancamnya siklus hidup burung di alam. Sedangkan isu tentang bayang-bayang kehancuran baik yang bersifat ekologis maupun kebudayaan yang melanda manusia modern hari ini hadir dalam karya drawing Wayan Gede Budayana. Melalui karyanya, Budayana menggambarkan siklus peradaban yang kian hari kian berproses menuju pembusukan yang berujung kehancuran.

Tema-tema yang dekat dengan persoalan alam juga tampak pada karya Wayan Danu dan Made Gede Putra. Dua perupa ini menghadirkan isu ekologi melalui pemanfaatan material dalam karyanya. Made Gede Putra menghadirkan kombinasi antara bahan alam berupa sabut kelapa, batu kapur dan tanah yang dipadatkan yang disusun membentuk struktur karya tiga dimensional serupa tiang-tiang totem. Karya ini merepresentasikan penghormatan atas alam. Sedangkan Wayan Danu memakai material karya dari benda-benda temuan yang Ia pungut di alam, kayu-kayu bekas serta material lainnya ia konstruksi kembali membentuk sebuah representasi yang ia sebut sebagai otak manusia. Wayan Danu memaknai proses berkarya dengan benda temuan sebagai bentuk penghormatan atas apa yang tersisa dan terbuang di alam.

Narasi tentang diri sebagai manusia dalam ruang-ruang personal maupun universal dihadirkan dalam karya Putu Winata dan Nengah Sujena. Putu Winata dengan karya abstraknya berangkat dari pencerapan dan perenungan dirinya yang memaknai konsep diri sebagai langit yang terhampar dan menjadi bagian dari sistem semesta ini. Langit dalam karya abstrak Putu Winata ditempatkan sebagai sebuah metafora tentang diri yang menyaksikan dan mengalami setiap musim dan perubahan dalam perjalanan hidup. Sedangkan perenungan tentang kesementaraan hidup dihadirkan dengan liris melalui karya Nengah Sujena yang menghadirkan visual torso yang dikonstruksi dari struktur garis-gemaris ptih yang saling tumpang tindih berwarna putih dalam latar berwana gelap. Melalui karyanya Nengah Sujena ingin menyampaikan ihwal siklus dalam kehidupan yang dipenuhi oleh kefanaan atau kesementaraan, sebagaimana tubuh yang bertumbuh lalu menua bersama waktu.

Karya Nengah Sujena, Pameran 12, Sika Gallery

Demikianlah sekelumit pembacaan atas karya yang dihadirkan oleh 12 perupa SDI dalam pameran ini. Sebagai sebuah pameran yang menampilkan keberagaman gagasan, keberagaman generasi dan keberagaman visual dari 12 perupa SDI tentu saja pameran ini menyajikan sebuah presentasi untuk melihat bagaimana fragmen-fragmen dinamika yang terjadi dalam karya-karya perupa SDI Bali saat ini. Dan dari sisi historis apa yang dihadirkan SIKA Gallery dalam program 12 di tahun ketiga ini adalah hal yang patut dicermati. Pameran ini seperti merepresentasikan bagaimana jejalin konektivitas yang dirajut oleh tiap-tiap anggotanya dalam medan sosial seni rupa Bali.

Kita ketahui bersama bahwa SIKA Gallery sebagai ruang seni yang hadir di dalam ekosistem seni rupa Bali lahir dari gagasan (alm.) Wayan Sika sebagai salah satu pendiri SDI sebagai ruang untuk mempresentasikan karya-karya seni rupa kontemporer Bali secara umum. Maka apa yang ditampilkan dalam pameran ini dengan mengundang 12 perupa SDI Bali menunjukkan adanya komitmen untuk bergerak bersama yang dijiwai oleh spirit dan kedekatan secara historis tersebut. Sinergitas yang sangat perlu untuk terus didorong bersama untuk penguatan dinamika pergerakan SDI Bali khususnya, serta ekosistem seni rupa Bali secara lebih luas. [G]

⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂ JOIN THE COMMUNITY AND SHARE YOUR PASSION WITH US ⁂ ⁂ ⁂

CONTACT US

Whatsapp