Reinvented Tradition: Menemukan Kembali Tradisi

Editor: I Wayan Nuriarta, I Wayan Seriyoga Parta

Menemukan Kembali Tradisi bukanlah sekadar kumpulan narasi budaya. Buku ini adalah perjalanan intelektual dan emosional yang mengajak kita melihat kembali—ke akar tradisi yang telah membentuk identitas sebuah kebudayaan—sembari menatap ke depan, memformulasikan gagasan dan merealisasikannya dalam praktik-praktik berkesenian agar tradisi itu tetap hidup, relevan, dan bermakna di tengah arus zaman yang terus berubah.

Tahun 1983 di Britania terbit sebuah buku yang berjudul The Invention of Tradition, kumpulan tulisan yang disunting oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger hadir mempertanyakan kembali tradisi yang berlangsung di masyarakat. Dalam pengantarnya, Hobsbawm mengenalkan satu terma yang digunakan untuk menjadi landasan dalam menjelaskan fenomena yang dibahas dalam buku tersebut: invented tradition (baca: tradisi ciptaan). 

Tradisi ciptaan diartikan sebagai seperangkat praktik, biasanya diatur oleh aturan yang diterima secara terbuka atau diam-diam dan bersifat ritual atau simbolis, yang berusaha untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku dengan pengulangan. Dalam tulisannya Hobsbawm mengindikasikan bahwa masa lalu, baik nyata maupun rekaan, yang menjadi acuan tradisi menerapkan praktik-praktik yang tetap (biasanya diformalkan) seperti pengulangan.

Bahkan ia membedakan tradisi ciptaan dengan tradisi asli (genuine tradition), dimana kekuatan dan adaptabilitas tradisi asli tak sebanding dengan tradisi ciptaan. Ketika sebuah cara hidup lama masih bertahan, tradisi tidak perlu dihidupkan kembali ataupun diciptakan. Pandangan seperti ini seperti sangat terkukung dan tercermin bahwa tradisi itu sudah lampau atau “Post-“. Padahal zaman berkembang dan setiap daerah berkembang dengan caranya tersendiri.

Selanjutnya tahun 2006, muncul buku berjudul Remembering the Year of the French: Irish Folk History and Social Memory ditulis Guy Beiner, yang berargumen tentang folklore (baca: cerita rakyat) dan folk history (baca: sejarah rakyat) yang menempati urutan kedua dalam sejarah yang linear invasi Perancis di Irlandia tahun 1798 karena sifatnya yang oral history (baca: sejarah secara lisan). Ia menekankan sering kali sejarah rakyat ini malah hanya dicantumkan sebagai footnote (baca: catatan kaki), di tengah ilmu historiografi yang profesional. Tradisi telah menjadi subjek yang diminati dalam ilmu sejarah tetapi interpretasinya sering dikecilkan sebagai persepsi antagonis – seakan fiksi dan mitos saja. Dengan kecenderungan banyak praktisi sejarah yang makin mendalami cara-cara alternatif menceritakan kembali masa lalu, “dustbin of history” akhirnya digali lagi dan sejarah rakyat bisa ditemukan kembali.

Argumen Beiner memantik pemikiran untuk menemukan kembali bahwa tradisi tidaklah sesuatu yang lampau. Tradisi yang sayangnya dianggap imajinasi saja, tidak pernah stagnan atau diam, seperti di Bali. Ia eksis secara lisan dan tertulis di lontar secara sastra maupun cerita rakyat, memang tidak di buku cetak seperti di Eropa. Kala atau waktu terus beriringan dengannya, apalagi adaptasi fleksibilitas lewat Desa Kala Patra, sehingga kebaruan atau semacam revisi terus terjadi.

I Gusti Made Deblog – Arsip Gurat Institute

I Gusti Made Deblog, Sunda Upasunda, 115cm x 75cm, Tinta Cina pada Kertas, 1940

Hanoman Duta – 150 x 100cm – Tinta di Kanvas
– Koleksi Museum Mahudara Mandara Giri Bhuwana Taman Budaya Bali

Gurat Institute menawarkan tema “Reinvented Tradition”, yakni “menemukan kembali tradisi” dalam kumpulan tulisan berupa bookchapter (edisi ke-3). Setiap penulis dalam buku ini menggali warisan budaya, tidak hanya sebagai objek yang usang atau romantis, tetapi sebagai sumber daya kreatif yang bisa diolah kembali dengan kesadaran zaman kini. Ada keberanian di sini: keberanian untuk mempertanyakan, menafsirkan ulang, dan bahkan mendobrak batasan-batasan lama demi menemukan bentuk baru yang lebih kontekstual.

“Menemukan kembali” bukan berarti menghapus yang lama, melainkan menghadirkan napas baru ke dalamnya. Entah itu dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, ritual, fashion, arsitektur, hingga teknologi, kita menemukan bahwa tradisi tidak mati—ia selalu hadir untuk ditemukan kembali, diciptakan ulang, atau dirayakan terus-menerus dengan cara yang bijaksana dan penuh rasa.

Sebagai editor, kami berharap buku ini bisa menjadi ruang dialog antara generasi, antara pelaku tradisi dan agen perubahan, antara yang sakral dan yang profan. Tradisi tidak akan pernah hidup kalau hanya dibekukan dalam museum atau dirayakan setahun sekali. Ia hidup jika terus dirawat, dikritisi, diperbarui, dan—ya—diciptakan kembali.
Selamat membaca.

I Gusti Made Deblog – Arsip Gurat Institute

Loloh Cemcem domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional; Nganten Massal domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan; Sampi Grumbungan Buleleng domain seni pertunjukan; Tradisi Mengarak Sokok Pegayaman Buleleng domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan.

Kain Tenun Rangrang Nusa Penida Klungkukng domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional; Kerajinan Genta Klungkung domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional; Kerajinan Gamelan Klungkung domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.

Uyah Kusamba domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional; Bungbung Kepyak domain Seni Pertunjukan; Kendang Mebarung domain Seni Pertunjukan; Tari Baris Kekupu domain Seni Pertunjukan dan Lukisan Gaya I Gusti Made Deblog domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.

Komunitas Budaya Gurat Indonesia © 2022

P: +62811038758095
E: guratinstitute.13@gmail.com
L: Br. Tubuh, Batubulan, Gianyar, Bali

Scroll to Top